Tata Cara Berlalu Lintas Yang Benar
. Tata Cara
Berlalu Lintas Yang Benar
Setiap
orang yang menggunakan jalan wajib :
a. Berperilaku tertib.
b. Mencegah hal – hal
yang dapat merintangi, membahayakan keamanan dan keselamatan lalu lintas atau
yang dapat menimbulkan kerusakan jalan.
Seperti
halnya peraturan sekolah dalam berlalu lintas juga ada aturan yang berlaku.
Menurut Bahari (2010 : 23) beberapa aturan dan etika berlalu lintas yang
seharusnya dijunjung tinggi oleh pengemudi di jalan adalah sebagai berikut :
a. Sepeda motor,
kendaraan bermotor yang kecepatannya lebih rendah, mobil barang dan kendaraan
tidak bermotor berapda pada lajur kiri. Penggunaan lajur sebelah kanan hanya
diperuntukan bagi kendaraan dengan kecepatan lebih tinggi, akan membelok ke
kanan, mengubah arah atau mendahului kendaraan lain.
b.
Pengemudi kendaraan bermotor yang akan melewati kendaraan lain harus
menggunakan lajur atau jalur jalan sebelah kanan dari kendaraan yang akan
dilewati, mempunyai jarak pandang yang bebas, dan tersedia ruang yang cukup.
c. Pengemudi kendaraan
yang berpapasan dengan kendaraan lain dari arah berlawanan pada jalan dua arah
yang tidak dipisahkan secara jelas wajib memberikan ruang gerak yang cukup
disebelah kanan kendaraan.
d. Pengemudi kendaraan
yang akan berbelok arah atau berbalik arah wajib mengamati situasi lalu lintas
di depan, di samping dan di belakang kendaraan serta memberikan isyarat dengan
lampu penunjuk arah atau isyarat tangan.
e.
Pengemudi yang akan memperlambat kendaraan harus mengamati situasi lalu lintas
di samping dan di belakang kendaraan dengan cara yang tidak membahayakan
kendaraan lain.
2.
Tinjauan Tentang Kepatuhan Hukum
a.
Pengertian Kepatuhan Hukum
Definisi
kepatuhan menurut Prijadarminto (2003) “Kepatuhan adalah suatu kondisi yang
tercipta dan berbentuk melalui proses dari serangkaian perilaku yang
menunjukkan nilai-nilai ketaatan, kepatuhan, kesetiaan, keteraturan dan ketertiban”.
Sikap atau perbuatan yang dilakukan bukan lagi atau sama sekali tidak dirasakan
sebagai beban, bahkan sebaliknya akan membebani bilamana tidak dapat berbuat
sebagaimana lazimnya.
Sementara
itu pengertian hukum sendiri menurut Immanuel Kant (dalam Kansil, 1989:36)
adalah: “Aturan tingkah laku para anggota masyarakat, aturan yang daya
penggunanya pada saat tertentu diindahkan oleh suatu masyarakat sebagai jaminan
dari kepentingan bersama dan yang jika dilanggar menimbulkan reaksi bersama
terhadap orang yang melakukan pelanggaran itu”.
Utrecht
(dalam Kansil, 1989:38) memberikan batasan hukum sebagai berikut: hukum adalah
himpunan peraturan-peraturan (perintah-perintah dan larangan-larangan) yang
mengurus tata tertib suatu masyarakat dan karena itu harus ditaati oleh
masyarakat itu.
Dengan
demikian, kepatuhan atau ketaatan hukum pada hakikatnya adalah serangkaian
perilaku seseorang atau subjek hukum yang menunjukkan nilai taat, patuh, setia,
teratur dan tertib terhadap peraturan-peraturan (perintah-perintah dan
larangan-larangan).
Menurut
Ali (1993:302) “kepatuhan hukum atau ketaatan hukum adalah kesadaran hukum yang
positif. Sementara itu ketidaktaatan hukum padahal yang bersangkutan memiliki
kesadaran hukum, berarti kesadaran hukum yang dipunyainya adalah kesadaran
hukum yang negativ”.
Kesadaran
hukum masyarakat tidak identik dengan kepatuhan atau ketaatan hukum masyarakat
itu sendiri. Hal ini dikarenakan kesadaran hukum yang dimiliki oleh masyarakat
belum menjamin masyarakat tersebut akan mentaati suatu aturan hukum atau
perundang-undangan (Ali: 1993:300).
Menurut
Soerjono, 1986:49-50, sitir pendapatnya L. Pospisil, 1971:200-201 (dalam Otje
Salman:1989:53-55) ada beberapa faktor yang menyebabkan warga masyarakat
mematuhi hukum, antara lain:
a)
compliance, yaitu:
“an
overt acceptance induced by expectation of rewards and an attempt to avoid
possible punishment – not by any conviction in the desirability of the enforced
nile. Power of the influencing agent is based on ‘means-control” and, as a
consequence, the influenced person conforms only under surveillance”.
Suatu
kepatuhan yang didasarkan pada harapan akan suatu imbalan dan usaha untuk
menghindari diri dari hukuman atau sanksi yang mungkin dikenakan apabila
seseorang melanggar ketentuan hukum. Kepatuhan ini sama sekali tidak didasarkan
pada suatu keyakinan pada tujuan kaidah hukum yang bersangkutan, dan lebih
didasarkan pada pengendalian dari pemegang kekuasaan. Sebagai akibatnya,
kepatuhan hukum akan ada apabila ada pengawasan yang ketat terhadap pelaksanaan
kaidah-kaidah hukum tersebut.
b)
Identification, yaitu:
“an
acceptance of a rule not because of its intrinsic value and appeal but because
of a person’s desire to maintain membership in a group or relationship with the
agent. The source of power is the attractiveness of the relation which the
persons enjoy with the group or agent, and his conformity with the rule will be
dependent upon the salience of these relationships”
Terjadi
bila kepatuhan terhadap kaidah hukum ada bukan karena nilai intrinsiknya, akan
tetapi agar keanggotaan kelompok tetap terjaga serta ada hubungan baik dengan
mereka yang diberi wewenang untuk menerapkan kaidah hukum tersebut. Daya tarik
untuk patuh adalah keuntungan yang diperoleh dari hubungan-hubungan tersebut,
dengan demikian kepatuhan tergantung pada baik-buruk interaksi.
c)
Internalization, yaitu:
“the
acceptance by an individual of a rule or behavior because he finds its content
intrinsically rewarding … the content is congruent with a person’s values
either because his values changed and adapted to the inevitable”. (Soekanto,
1986:49-50, sitir pendapatnya L. Pospisil, 1971:200-201):
Pada
tahap ini seseorang mematuhi kaidah hukum karena secara intrinsik kepatuhan
tadi mempunyai imbalan. Isi kaidah tersebut adalah sesuai dengan nilai-nilainya
dari pribadi yang bersangkutan, atau karena Ia mengubah nilai-nilai semula
dianutnya.
Hasil
dari proses tersebut adalah suatu konformitas yang didasarkan pada motivasi
secara intrinsik. Titik sentral dari kekuatan proses ini adalah kepercayaan
orang tadi terhadap tujuan dari kaidah-kaidah yang bersangkutan, terlepas dari
pengaruh atau nilai-nilainya terhadap kelompok atau pemegang kekuasaan maupun
pengawasannya. Tahap ini merupakan derajat kepatuhan tertinggi, dimana ketaatan
itu timbul karena hukum yang berlaku sesuai dengan nilai-nilai yang dianut.
Dari
ketiga faktor tersebut, dapat berdiri sendiri dapat pula merupakan gabungan
dari keseluruhan atau sebagian dari ketiga faktor di atas. Berdasarkan konsep
Kelman (dalam Achmad Ali,1993:348) seseorang dapat menaati suatu aturan hukum,
hanya karena ketaatan salah satu jenis saja, misalnya hanya taat karena compliance,
dan tidak karena identification atau internalization. Tetapi juga
dapat terjadi, seseorang menaati aturan hukum, berdasarkan dua jenis atau
bahkan tiga jenis ketaatan sekaligus. Selain karena aturan hukum tersebut
memang cocok dengan nilai-nilai intrinsik yang dianutnya, juga sekaligus dapat
menghindari sanksi dan memburuknya hubungan baiknya dengan pihak lain.
Dengan
demikian, ternyata seseorang menaati hukum atau tidak melanggar hukum, selain
akibat faktor jera setelah menyaksikan atau mempertimbangkan kemungkinan sanksi
yang diganjarkan terhadap dirinya jika ia tidak menaati hukum, maka juga bisa saja
seseorang menaati hukum, karena adanya tekanan individu lain atau tekanan
kelompok. Juga mungkin saja, seorang individu memutuskan untuk menaati suatu
aturan hukum karena alasan moral personalnya (Ali,1993:345).
Dengan
demikian, dengan mengetahui adanya tiga jenis ketaatan tersebut, maka tidak
dapat sekedar menggunakan ukuran ditaatinya suatu aturan hukum atau
perundang-undangan sebagai bukti efektifnya aturan tersebut, tetapi paling
tidaknya juga harus ada perbedaan kualitas efektivitasnya. Semakin banyak warga
masyarakat yang menaati suatu aturan hukum atau perundang-undangan hanya dengan
ketaatan yang bersifat ‘compliance’ atau ‘identification’ saja,
berarti kualitas efektivitasnya masih rendah; sebaliknya semakain banyak yang
ketaatannya ‘internalization’, maka semakin tinggi kualitas efektivitas
aturan hukum atau perundang-undangan itu (Ali, 1993:349).
Ketiga
faktor yang menyebabkan warga masyarakat mematuhi hukum di atas oleh Soekanto
(1985:255) dirumuskan kembali ke dalam tiga tahapan faktor-faktor yang
mempengaruhi kepatuhan hukum, yaitu :
a)
Tahap Prakovensional
Pada
tahap ini manusia mematuhi hukum karena memusatkan perhatian pada akibat-akibat
apabila hukum itu dilanggar. Proses yang terjadi pada tahap ini sebenarnya
dapat dibagi dalam dua tahap lagi yakni tahap kekuatan fisik (seseorang
mematuhi hukum agar ia terhindar dari penjatuhan hukuman atau sanksi negatif),
dan tahap hedonistik (seseorang mematuhi hukum atau melanggar hukum untuk
kepuasan dirinya sendiri).
b)
Tahap Konvensional
Pada
tahap ini tekanan diletakan pada pengakuan, bahwa hukum berisikan aturan
permainan dalam pergaulan hidup, yang senantiasa harus ditegakkan. Tetapi dalam
kenyataanya, bukan hal ini yang selalu terjadi karena dalam tahap ini dikenal
perbedaan antara dua tahap, yakni tahap interpersonal atau antar pribadi
seseorang mematuhi hukum untuk memelihara hubungan baik dengan pihak-pihak lain
dan untuk menyenangkan pihak lain tadi. Dan tahap hukum dan ketertiban (hukum
dipatuhi karena penegak hukum mempunyai kekuasaan dan kekuasaan tersebut
diakui).
c)
Tahap Purna Konvensional
Dalam
tahap ini, manusia mematuhi hukum karena dia mendukung prinsip-prinsip moral,
terlepas dari apakah hukum itu didukung suatu kekuasaan dan wewenang atau
tidak. Tahap ini biasanya dijabarkan dalam tahap-tahap kontrak sosial
(seseorang mematuhi hukum karena hukum dianggap sebagai patokan yang dapat
mempertahankan stabilitas dan memberikan kemungkinan pada terjadinya perubahan
sosial), dan tahap etika universal (ditandai dengan kepatuhan hukum yang
terutama disebabkan ada anggapan yang sangat kuat bahwa hukum merupakan
refleksi dari etika).
Secara
teoritis, menurut Soekanto (1990:37-40) terdapat Golongan- golongan pemakai
jalan yang mematuhi hukum, yaitu:
a.
Golongan kepatuhan hukum berdasarkan kekuatan fisik
Golongan
ini mematuhi hukum agar terhindar dari penjatuhan hukuman atau sanksi negatif.
Hukuman itu dianggapnya sebagai suatu siksaan badaniah belaka. Akibatnya proses
penegakkan hukum harus senantiasa diawasi oleh petugas-petugas tertentu.
Kepatuhan pada taraf ini merupakan taraf kepatuhan terendah, karena timbul dari
kekuatan-kekuatan yang dapat menjatuhkan hukuman badaniah.
b.
Golongan kepatuhan hukum berdasarkan sifat hedonistik
Golongan
ini mematuhi hukum untuk kepuasan dirinya sendiri yang terlepas dari cita-cita
keadilan.
c.
Golongan kepatuhan hukum berdasarkan aspek interpersonal
Golongan
ini mematuhi hukum untuk memelihara hubungan baik dengan pihak lain dan untuk
menyenangkan pihak lain tersebut.
d.
Golongan kepatuhan hukum berdasarkan hukum dan ketertiban
Fokus
hukum dan ketertiban, maka masalah kekuasaan dan wewenang menempati fungsi yang
sangat penting dan menonjol. Hukum dipatuhi karena penegak hukum mempunyai
kekuasaan, dan kekuasaan tersebut diakui.
e.
Golongan kepatuhan hukum berdasarkan kontrak sosial
Golongan
ini mematuhi hukum karena hukum dianggap sebagai patokan yang dapat
mempertahankan stabilitas dan memberikan kemungkinan pada terjadinya perubahan
sosial.
f.
Golongan kepatuhan hukum berdasarkan etika universal
Golongan
ini mematuhi hukum karena ada anggapan yang sangat kuat, bahwa hukum merupakan
pencerminan dari etika (dalam arti sempit). Hukum dianggap sebagai refleksi
dari hati nurani yang bersih atau dari kesusilaan. Kesusilaan tersebut dianggap
sebagai dasar dari nilai, dengan demikian menghasilkan asas hukum.
Post a Comment for " Tata Cara Berlalu Lintas Yang Benar"