Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Pengertian Disiplin

a.      Pengertian Disiplin

Dalam kehidupan sehari-hari kita tidak lepas dari aktivitas atau kegiatan, kadang kegiatan itu kita lakukan dengan tepat waktu tapi kadang juga tidak. Kegiatan yang kita laksanakan secara tepat waktu dan dilaksanakan secara kontinyu, maka akan menimbulkan suatu kebiasaan. Kebiasaan dalam melaksanakan kegiatan secara teratur dan tepat waktulah yang biasanya disebut disiplin dalam kehidupan sehari-hari. Disiplin diperlukan di manapun, karena dengan disiplin akan tercipta kehidupan yang teratur dan tertata.

Menurut Prijodarminto dalam Tu’u (2004: 31), disiplin adalah suatu kondisi yang tercipta dan terbentuk melalui proses dari serangkaian perilaku yang menunjukkan nilai-nilai ketaatan, kepatuahn, kesetiaan, keteraturan dan keterikatan.

Menurut Maman Rachman dalam Tu’u (2004: 32), menyatakan disiplin sebagai upaya mengendalikan diri dan sikap mental individu atau masyarakat dalam mengembangkan kepatuhan dan ketaatan terhadap peraturan dan tata tertib berdasarkan dorongan dan kesadaran yang muncul dari dalam hatinya.
Kedisiplinan merupakan perilaku yang terbentuk dari hasil latihan untuk selalu mematuhi aturan tata tertib yang telah ditentukan. Menurut Admodiwirjo (2000: 235), kedisiplinan adalah setiap usaha mengkoordinasikan perilaku seseorang pada masa mendatang dengan menggunakan hukum dan ganjaran.

Menurut Nawawi (2001: 182), kedisiplinan merupakan usaha untuk mencegah terjadinya pelanggaran terhadap ketentuan yang telah disetujui bersama agar pemberian hukuman dapat dihindari. Disiplin adalah sikap yang tercermin dalam perbuatan tingkah laku perorangan, kelompok atau masyarakat berupa kepatuhan terhadap berbagai peraturandan ketentuan yang ditentukan pemerintah atau etik, norma, dan kaidah yang berlaku dalam masyarakat.

Menurut Nawawi (2001: 183), unsur-unsur kedisiplinan meliputi;
1)      Sikap mental, artinya adalah adanya sikap mental yang tercermin dari perbuatan seseorang dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya serta menjauhkan diri dari perbuatan yang bertentangan dengan peraturan yang telah ditetapkan.
2)      Alat ukur, artinya adalah adanya alat ukur seperti waktu, tugas, pekerjaan dan larangan-larangan yang dituangkan dalam peraturan.
3)      Sangsi atau hukuman, artinya adanya sangsi atau hukuman yang diberikan kepada pelanggar peraturan atau ketentuan yang telah ditetapkan.

Berdasarkan beberapa pengertian tentang disiplin di atas, maka dapat dinyatakan bahwa yang dimaksud disiplin adalah perilaku seseorang yang sesuai dengan tata tertib atau aturan yang berlaku baik yang muncul dari kesadaran dirinya maupun karena adanya sanksi atau hukuman.
b.      Pengertian Belajar


Selanjutnya akan diuraikan pendapat para ahli tentang pengertian belajar.
1)      Slameto (2003: 2), menyatakan bahwa belajar adalah proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah aku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya.
2)      W.S. Winkel dalam Darsono (2000: 4), berpendapat bahwa belajar adalah suatu aktivitas mental/psikis yang berlangsung dalam interaksi aktif dengan lingkungan, yang menghasilkan perubahan dalam pengetahuan, pemahaman, ketrampilan dan nilai sikap.
3)      Menurut Suwatno (2008: 14), belajar pada dasarnya merupakan proses usaha aktif seseorang untuk memperoleh sesuatu, sehingga terbentuk perilaku baru menuju arah yang lebih baik.
4)      Menurut Gagne yang dikutip oleh Dimyati dan Mudjiono (1999: 10), menyatakan bahwa belajar adalah seperangkat proses kognitif yang mengubah sifat stimulasi, lingkungan, melewati pengolahan informasi, menjadi kapabilitas baru.

Sesuai dengan pendapat Slameto dan W.S. Winkel yang dikutip oleh Darsono (2000: 24) tentang pengertian belajar di atas, terkandung pengertian bahwa belajar adalah serangkaian kegiatan yang sengaja dilakukan oleh seseorang dengan tujuan untuk memperoleh perubahan secara menyeluruh dalam tingkah lakunya, sebagai hasil dari pengalamannya dalam berinteraksi dengan lingkungannya.
Menurut Mudjiono (1999: 26), belajar adalah suatu proses yang ditempuh seseorang untuk mendapatkan kapabilitas baru pada dirinya berupa ketrampilan pengetahuan, sikap dan nilai.

Berdasarkan beberapa pengertian disiplin dan pengertian belajar di atas maka yang dimaksud disiplin belajar dalam penelitian ini adalah sikap atau tingkah laku siswa yang taat dan patuh untuk dapat menjalankan kewajibannya untuk belajar, baik belajar di sekolah maupun belajar di rumah. Indikator disiplin belajar dalam penelitian ini adalah: ketaatan terhadap tata tertib sekolah, ketaatan terhadap kegiatan belajar di sekolah, ketaatan dalam mengerjakan tugas-tugas pelajaran, dan ketaatan terhadap kegiatan belajar di rumah.

2.      Perlunya Disiplin Belajar


Disiplin berperan penting dalam membentuk individu yang berciri keunggulam. Menurut Tu’u (2004: 37), disiplin penting karena alasan:
a.       Dengan disiplin yang muncul karena kesadaran diri, siswa berhasil dalam belajarnya. Sebaliknya siswa yang kerap kali melanggar ketentuan sekolah pada umumnya terhambat optimalisasi potensi dan prestasinya.
b.      Tanpa disiplin yang baik, suasana sekolah dan juga kelas menjadi kurang kondusif bagi kegiatan pembelajaran. Secara positif disiplin memberi dukungan yang tenang dan tertib bagi proses pembelajaran.
c.       Orang tua senantiasa berharap di sekolah anak-anak dibiasakan dengan norma-norma, nilai kehidupan, dan disiplin. Dengan demikian anak-anak dapat menjadi individu yang tertib, teratur, dan disiplin.
d.      Disiplin merupakan jalan bagi siswa untuk sukses dalam belajar dan kelak ketika bekerja. Kesadaran pentingnya norma, aturan, kepatuhan dan ketaatan merupakan prasarat kesuksesan seseorang.

Maman Rachman dalam Tu’u (2004: 35), berpendapat bahwa pentingnya disiplin bagi para siswa adalah:
a.       Memberi dukungan bagi terciptanya perilaku yang tidak menyimpang.
b.      Membantu siswa memahami dan menyesuaikan diri dengan tuntutan lingkungan.
c.       Cara menyelesaikan tuntutan yang ingin ditunjukan peserta didik terhadap lingkunganya.
d.      Untuk mengatur keseimbangan keinginan individu satu dengan individu lainnya.
e.       Menjauhi siswa melakukan hal-hal yang dilarang sekolah.
f.       Mendorong siswa melakukan hal-hal yang baik dan benar.
g.      Peserta didik belajar hidup dengan kebiasaan-kebiasaan yang baik, positif dan bermanfaat baginya dan lingkungannya.
h.      Kebiasaan baik itu menyebabkan ketenangan jiwanya dan lingkungannya.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa disiplin sangat penting dan dibutuhkan oleh setiap siswa. Disiplin yang tumbuh secara sadar akan membentuk sikap, perilaku, dan tata kehidupan yang teratur yang akan menjadikan siswa sukses dalam belajar.

3.      Fungsi Disiplin Belajar

Fungsi disiplin sangat penting untuk ditanamkan pada siswa, sehingga siswa menjadi sadar bahwa dengan disiplin akan tercapai hasil belajar yang optimal. Fungsi disiplin menurut Tu’u (2004: 38-44), adalah sebagai berikut:
a.       Menata kehidupan bersama
Manusia merupakan mahluk sosial. Manusia tidak akan bisa hidup tanpa batuan orang lain. Dalam kehidupan bermasyarakat sering terjadi pertikaian antara sesama orang yang disebabkan karena benturan kepentingan, karena manusia selain sebagai mahluk sosial ia juga sebagai mahluk individu yang tidak lepas dari sifat egonya, sehingga kadang-kadang di masyarakat terjadi benturan antara kepentingan pribadi dengan kepentingan bersama. Disinilah pentingnya disiplin untuk mengatur tata kehidupan manusia dalam kelompok tertentu atau dalam masyarakat, sehingga kehidupan bermasyarakat akan tentram dan teratur.

b.      Membangun kepribadian
Kepribadian adalah keseluruhan sifat, tingkah laku yang khas yang dimiliki oleh seseorang. Antara orang yang satu dengan orang yang lain mempunyai kepribadian yang berbeda. Lingkungan yang berdisiplin baik sangat berpengaruh terhadap kepribadian seseorang. Apalagi seorang siswa yang sedang tumbuh kepribadiannya, tentu lingkungan sekolah yang tertib, teratur, tenang, dan tentram sangat berperan dalam membangun kepribadian.

c.       Melatih kepribadian yang baik
Kepribadian yang baik selain perlu dibangun sejak dini, juga perlu dilatih karena kepribadian yang baik tidak muncul dengan sendirinya.  Kepribadian yang baik perlu dilatih dan dibiasakan, sikap perilaku dan pola kehidupan dan disiplin tidak terbentuk dalam waktu yang singkat, namun melalui suatu proses yang membutuhkan waktu lama.

d.      Pemaksaan
Disiplin akan tercipta dengan kesadaran seseorang untuk mematuhi semua ketentuan, peraturan, dan noma yang berlaku dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab. Disiplin dengan motif kesadaran diri lebih baik dan kuat. Dengan melakukan kepatuhan dan ketaatan atas kesadaran diri bermanfaat bagi kebaikan dan kemajuan diri. Sebaliknya, disiplin dapat pula terjadi karena adanya pemaksaan dan tekanan dari luar. Misalnya, ketika seorang siswa yang kurang disiplin masuk ke satu sekolah yang berdisiplin baik, maka ia terpaksa harus menaati dan mematuhi tata tertib di sekolah.

e.       Hukuman
Dalam suatu sekolah tentunya ada aturan atau tata tertib. Tata tertib ini berisi hal-hal yang positif dan harus dilakukan oleh siswa. Sisi lainnya berisi sanksi atau hukuman bagi yang melanggar tata tertib tersebut. Hukuman berperan sangat penting karena dapat memberi motifasi dan kekuatan bagi siswa untuk mematuhi tata tertib dan peraturan-peraturan yang ada, karena tanpa hukuman sangat diragukan siswa akan mematuhi paraturan yang sudah ditentukan.


f.       Menciptakan lingkungan yang kondusif
Disiplin di sekolah berfungsi mendukung terlaksananya proses kegiatan pendidikan berjalan lancar. Hal itu dicapai dengan merancang peraturan sekolah, yakni peraturan bagi guru-guru dan bagi para siswa, serta peraturan lain yang dianggap perlu. Kemudian diimplementasikan secara konsisten dan konsekuen, dengan demikian diharapkan sekolah akan menjadi lingkungan pendidikan yang aman, tenang, tentram, dan teratur.

4.      Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Pembentukan Disiplin Belajar

Perilaku disiplin belajar tidak akan tumbuh dengan sendirinya, melainkan perlu kesadaran diri, latihan, kebiasaan, dan juga adanya hukuman. Bagi siswa disiplin belajar juga tidak akan tercipta apabila siswa tidak mempunyai kesadaran diri. Siswa akan disiplin dalam belajar apabila siswa sadar akan pentingnya belajar dalam kehidupannya. Penanaman disiplin perlu dimulai sedini mungkin mulai dari dalam lingkungan keluarga. Mulai dari kebiasaan bangun pagi, makan, tidur, dan mandi harus dilakukan secara tepat waktu sehingga anak akan terbiasa melakukan kegiatan itu secara kontinyu.

Tu’u (2004: 48–49), mengatakan ada empat faktor dominan yang berhubungan dengan pembentukan disiplin belajar, yaitu:


a.       Kesadaran diri
sebagai pemahaman diri bahwa disiplin belajar penting bagi kebaikan dan keberhasilan dirinya. Selain itu, kesadaran diri menjadi motivasi sangat kuat bagi terwujudnya disiplin belajar. Disiplin belajar yang terbentuk atas kesadaran diri akan kuat pengaruhnya dan akan lebih tahan lama dibandingkan dengan disiplin belajar yang terbentuk karena unsur paksaan atau hukuman.

b.      Pengikutan dan ketaatan
Sebagai langkah penerapan dan praktik atas peraturan-peraturan yang mengatur perilaku individunya. Hal ini sebagai kelanjutan dari adanya kesadaran diri yang dihasilkan oleh kemampuan dan kemauan diri yang kuat.

c.       Alat pendidikan
Untuk mempengaruhi, mengubah, membina, dan membentuk perilaku yang sesuai dengan nilai-nilai yang ditentukan atau diajarkan.

d.      Hukuman
Seseorang yang taat pada aturan cenderung disebabkan karena dua hal, pertama karena adanya kesadaran diri, kemudian yang kedua karena adanya hukuman. Hukuman akan menyadarkan, mengoreksi, dan meluruskan yang salah, sehingga orang kembali pada perilaku yang sesuai dengan harapan.

Lebih lanjut Tu’u (2004: 49-50), menambahkan tiga faktor lain yang juga berhubungan dengan disiplin belajar, yaitu:


a.       Teladan
Teladan adalah contoh yang baik yang seharusnya ditiru oleh orang lain. Dalam hal ini siswa lebih mudah meniru apa yang mereka lihat sebagai teladan (orang yang dianggap baik dan patut ditiru), daripada dengan apa yang mereka dengar. Karena itu contoh dan teladan disiplin di sekolah yang berasal dari guru sangat penting.
b.      Lingkungan berdisiplin
Lingkungan berdisiplin kuat pengaruhnya dalam pembentukan disiplin dibandingkan dengan lingkungan yang belum menerapkan disiplin. Bila berada di lingkungan yang berdisiplin, seseorang akan terbawa oleh lingkungan tersebut.
c.       Latihan berdisiplin
Disiplin dapat tercapai dan dibentuk melalui latihan dan kebiasaan. Artinya melakukan disiplin secara berulang-ulang dan membiasakannya dalam praktik-praktik disiplin sehari-hari.

Disiplin belajar berkaitan erat dengan prestasi belajar. Dalam kaitannya dengan hal ini, Slameto (2003: 54-57), mengemukakan beberapa faktor-faktor yang mempengaruhinya:
a)      Faktor intern, yaitu faktor yang ada pada diri individu yang sedang belajar.  Faktor intern terdiri dari faktor jasmaniah (kesehatan), faktor psikologi (intelegensi, perhatian, minat, bakat, motif, kematangan) dan faktor kelelahan
b)      Faktor ekstern, yaitu faktor yang ada di luar individu.  Faktor ekstern terdiri dari faktor keluarga (cara orang tua mendidik, relasi antar anggota keluarga, suasana rumah, keadaan ekonomi keluarga, pengertian orang tua, dan latar belakang kebudayaan), faktor sekolah (metode mengajar, kurikulum, relasi guru dengan siswa, relasi siswa dengan siswa, disiplin sekolah, alat pelajaran, waktu sekolah, standar pelajaran di atas ukuran, keadaan gedung, metode/cara belajar, dan tugas rumah) dan faktor masyarakat (kegiatan siswa dalam masyarakat, media massa, teman bergaul, dan bentuk kehidupan masyarakat).

5.      Indikator Disiplin Belajar

Tu’u (2004: 91), dalam penelitian mengenai disiplin sekolah mengemukakan bahwa indikator yang menunjukan pergeseran/perubahan hasil belajar siswa sebagai kontribusi mengikuti dan menaati peraturan sekolah adalah meliputi: dapat mengatur waktu belajar di rumah, rajin dan teratur belajar, perhatian yang baik saat belajar di kelas, dan ketertiban diri saat belajar di kelas.

Menurut Syafrudin dalam Jurnal Edukasi (2005: 80), membagi indikator disiplin belajar menjadi empat macam, yaitu: 1), ketaatan terhadap waktu belajar, 2), ketaatan terhadap tugas-tugas pelajaran, 3), ketaatan terhadap penggunaan fasilitas belajar, dan 4), ketaatan menggunakan waktu datang dan pulang.

Berdasarkan uraian di atas, maka dalam penelitian ini penulis membagi indikator disiplin belajar menjadi empat macam, yaitu:
a.       Ketaatan terhadap tata tertib sekolah.
b.      Ketaatan terhadap kegiatan belajar di sekolah.
c.       Ketaaatan dalam mengerjakan tugas-tugas pelajaran.
d.      Ketaatan terhadap kegiatan belajar di rumah.

B.     Pola Asuh Anak

1.      Pengertian Pola Asuh Anak

Pola asuh adalah tata sikap atau perilaku yang digunakan orang tua untuk mendidik atau merawat anaknya. Menurut Hurlock (2005: 44), pola asuh orang tua adalah interaksi aturan, norma, tata nilai yang berlaku pada masyarakat dalam mendidik dan merawat anak-anaknya.
Poerwadarminta dalam Daryati (2007: 14), menyatakan pola asuh orang tua adalah gambaran, tata cara atau perbuatan yang dilakukan orang tua (ibu/bapak atau wali), dalam menjaga, mendidik serta merawat anaknya. Disamping lingkungan sosial yang dimiliki oleh seorang anak, pola asuh orang tua akan turut menentukan terbentuknya sikap dan watak anak dalam menjalani hidupnya.

Pola asuh orang tua dapat pula merupakan interaksi sosial awal yang berguna untuk mengenalkan anak pada peraturan, norma dan tata nilai yang berlaku pada masyarakat disekitar anak (Hermawan, 2005: 62).


Shochib dalam Daryati (2007: 16), pola asuh orang tua dalam membantu anak untuk mengembangkan diri adalah upaya orang tua yang diaktualisasikan dalam penataan lingkungan fisik, lingkungan sosial internal dan eksternal, pendidikan internal dan eksternal, dialog dengan anak-anaknya, suasana psikologis, sosiobudaya, perilaku yang ditampilkan saat terjadinya pertemuan dengan anak-anak, kontrol terhadap perilaku anak-anak, dan menentukan nilai-nilai moral sebagai dasar berperilaku dan yang diupayakan kepada anak-anak.

Berdasarkan beberapa pengertian tentang pola asuh orang tua di atas, dapat dinyatakan bahwa pola asuh adalah tata cara atau sikap/perilaku yang dilakukan oleh orang tua terhadap anaknya. Pola asuh yang diterapkan oleh orang tua dalam mendidik dan merawat anak akan berperan dalam membentuk sikap dan watak anak juga pola pemikiran atau psikologis anak. Oleh sebab itu, setiap orang tua diharapkan dapat menerapkan cara atau sistem pola asuh yang tepat dalam mendidik, membesarkan dan merawat anak-anaknya.

2.      Peran Orang Tua dalam Pengasuhan Anak 

Menurut M. Syahlan Syafei (2002: 8-12), anak merupakan hal yang sangat berharga di mata siapapun, khususnya orang tua. Anak adalah perekat hubungan di dalam keluarga, sehingga dapat dikatakan anak memiliki nilai yang tak terhingga. Banyak fenomena membuktikan orang tua rela berkorban demi keberhasilan anaknya. Tidak jarang ditemukan orang tua yang menghabiskan waktu, sibuk bekerja semata-mata hanya untuk kepentingan anak.
Ditinjau dari sisi psikologi, kebutuhan anak bukan hanya sebatas kebutuhan materi semata, anak juga membutuhkan kasih sayang dan perhatian dari orang terdekatnya, khususnya orang tua. Realitanya, banyak anak yang kurang mendapatkan kebutuhan afeksi (kasih sayang), disebabkan orang tua sibuk mencari uang demi untuk memperbaiki perekonomian keluarga.perbedaan persepsi inilah yang terkadang membuat dilema dalam hubungan antara orang tua dan anak menjadi semakin lemah.

Perhatian dan kasih sayang merupakan kebutuhan mendasar bagi anak. Lingkungan rumah disamping berfungsi sebagai tempat berlindung, juga berfungsi sebagai tempat untuk memenuhi kebutuhan hidup seseorang, seperti kebutuhan bergaul, kebutuhan rasa aman, kebutuhan mengaktualisasika diri, dan sebagai wahana untuk mengasuh anak hingga dewasa. Dengan kata lain, lingkungan keluarga memiliki andil besar daladm perkembangan psikologi anak.

Kedekatan hubungan antara orang tua dengan anak tentu saja akan berpengaruh secara emosional. Anak akan merasa dibutuhkan dan berharga dalam keluarga, apabila orang tua memberikan perhatiannya kepada anak. Anak akan mengganggap bahwa keluarga merupakan bagian dari dirinya yang sangat dibutuhkan dalam segala hal. Sebaliknya, hubungan yang kurang harmonis antara orang tua dan anakakan berdampak buruk terhadap perkembangan anak. Tidak jarang anak terjerumus ke hal-hal negatif dengan alasan orang tua kurang memberikan perhatian kepada anak.

Berdasarkan uraian di atas maka dapat dinyatakan bahwa bahwa peran orang tua sangat dibutuhkan dalam perkembangan psikologi anak. Perhatian dan kedekatan orang tua sangat mempengaruhi keberhasilan anak dalam mencapai apa yang diinginkan. Orang tua merupakan pemberi motivasi terbesar bagi anak, sehingga diharapkan orang tua dapat memberikan perhatian dan kasih sayang sepenuhnya kepada anak. Kedekatan antara orang tua dan anak memiliki makna dan peran yang sangat penting dalam setiap aspek kehidupan keluarga. Oleh karena itu, kualitas dan kuantitas pertemuan antar anggota keluarga perlu ditingkatkan dengan tujuan untuk membangun keutuhan hubungan orang tua dan anak.
3.      Jenis Pola Asuh Anak

Menurut Baumrind dalam (Dariyo, 2004: 44-47), pola asuh terbagi menjadi tiga jenis yakni; otoriter, permisif dan demokratis. Berikut penjelasan singkat masing-masing pola asuh tersebut:

a.      Pola Asuh Otoriter


Ciri dari pada pola asuh otoriter adalah menekankan segala aturan orang tua harus ditaati oleh anak. Orang tua bertindak semena-mena tanpa dapat dikontrol oleh anak. Anak harus menurut dan tidak boleh membantah terhadap apa yang diperintah oleh orang tua. Sikap demikian ini bisa didasari oleh adanya sikap penolakan pada diri anak yang ditunjukkannya terhadap perintah orang tua atau penerimaan orang tua terhadap sikap/perilaku anak, namun disini orang tua terlalu tinggi memberi tuntutan kepada anaknya atau dengan kata lain sangat menekan perilaku serta keinginan si anak dalam mengikuti kehendaknya pribadi.

Pada pola asuh otoriter, anak diperlakukan seperti robot, sehingga ia kurang inisiatif, merasa takut salah, tidak percaya diri, pencemas, rendah diri dan minder dalam pergaulan. Akan tetapi di sisi lain anak bisa memberontak menjadi nakal atau melarikan diri dari kenyataan, misalnya dengan menggunakan narkoba.
Berdasarkan ciri-ciri pola asuh otoriter di atas, dapat disimpulkan bahwa pada pola asuh otoriter, orang tua terlalu memberi tuntutan pada anak, dan anak tidak diberi kesempatan untuk membantah atau mengajukan pilihan lain. Pola asuh ini dapat didasari penolakan orang tua atau atas dasar penerimaan tetapi anak diberi tuntutan yang melebih kemampuannya. Pola asuh ini akan cenderung membentuk anak rendah diri, cemas, kurang inisiatif dan minder dalam pegaulan. Namun pada sisi lain anak dapat terlihat sebagai anak penurut dan patuh pada orang tua, namun kadang-kadang bisa menjadi pemberontak, nakal, dan melarikiran diri dari kenyataan dengan menggunakan zat-zat terlarang.

Pola asuh otoriter dapat berlatar belakang penolakan terhadap anak, dicirikan oleh adanya tuntutan orang tua yang terlalu tinggi dan tidak realistis. Selain itu pola asuh otoriter juga dapat berlatar belakang penerimaan terhadap anak, dicirikan oleh adanya tuntutan orang yang sangat tinggi dan kadang-kadang kurang rasional, namun didasari oleh keinginan agar anak mencapai keinginan orang tua.
b.      Pola Asuh Demokratis

Pada pola asuh ini kedudukan orang tua dengan anak dianggap sejajar. Suatu keputusan diambil bersama dengan mempertimbangkan kedua belah pihak. Dalam hal ini diberi kebebasan yang bertanggung jawab, artinya apa yang dilakukan anak tetap akan harus dibawah pengawasan orang tua dan dapat dipertanggungjawabkan secara moral. Orang tua dan anak tidak dapat berbuat semena-mena. Anak diberikan kepercayaan dan dilatih untuk bertanggung jawab atas segala tindakannya.

Pengaruh pola asuh demokratis adalah anak akan menjadi seorang individu yang mempercayai orang lain, tidak takut untuk berinisiatif, tidak takut akan membuat kesalahan. Dengan demikian rasa percaya diri pada anak akan menjadi berkembang dengan baik, dan anak mempunyai rasa tanggung jawab terhadap tindakan-tindakannya, tidak munafik, serta jujur. Namun akibat negatifnya anak bisa merongrong kewibawaan orang tua. Dalam kenyataannya, sering kali ketiga pola asuh tersebut di atas tidak diterapkan secara kaku, artinya orang tua tidak menerapkan salah satu pola asuh tersebut secara terus menerus tetapi ketiga pola asuh tersebut diterapkan secara fleksibel, luwes dan disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang berlangsung saat itu. Pola asuh yang demikian disebut sebagai pola asuh yang situasional.

Pola asuh demokratis dicirikan oleh adanya hubungan timbal balik orang tua–anak dan saling pengertian antar keduanya. Orang tua dan anak memiliki hak yang sama dalam pengambilan keputusan. Pola ini berlatar belakang penerimaan terhadap anak.
c.       Pola Asuh Permisif (Serba Boleh)

Pada sikap yang serba boleh, anak dapat berbuat sekehandak hatinya tanpa ada kontrol dari orang tua. Sikap ini dapat disebabkan antara lain karena orang tua terlalu sayang terhadap anak, proteksi yang berlebihan, terlalu memanjakan anak, sehingga apapun yang dilakukan oleh anak akan diterima orang tua. Tetapi sebaliknya, sikap tersebut juga dapat disebabkan karena sikap penolakan orang tua, sehingga apapun yang dilakukan anak dibiarkan oleh orang tua. Karena tidak adanya pengarahan dari orang tua maka anak tidak dapat mengerti mana yang sebaliknya dilakukan dan mana yang harus ditinggalkan.

Pengaruh pola asuh permisif adalah anak tidak mempunyai rasa tanggung jawab dan biasanya akan sulit dikendalikan. Anak yang diasuh dengan pola ini biasanya sering menentang kehendak orang tua dan dalam masyarakat perilakunya menjadi liar, dikarenakan orang tua tidak melarang apapun yang dilakukan anak atau bisa juga didasari penerimaan yang berlebihan sehingga orang tua terlalu memanjakan anak. Sebagai akibatnya kepercayaan diri anak akan menjadi goyah dan cenderung melawan norma-norma di masyarakat.

Berkenaan dengan uraian mengenai pola asuh permisif di atas, dapat disimpulkan bahwa pada pola asuh permisif, anak cenderung dibiarkan. Orang tua tidak melarang apapun yang dilakukan oleh anak. Pola asuh ini didasari penolakan orang tua atau bisa juga didasari oleh penerimaan yang berlebihan, sehingga orang tua terlalu memanjakan anaknya. Pola asuh permisif ini akan membentuk anak yang cenderung liar dan suka melawan norma-norma di masyarakat dan sulit dikendalikan.
Pola asuh permisif  biasanya dilakukan dengan memanjakan anak, anak tidak diberi tuntutan dan tanggung jawab, kalaupun ada tuntutan dari orang tua standarnya sangat rendah. Orang tua tidak mengarahkan perilaku anak. Segala keinginan anak disetujui orang tua. Pola ini berlatar belakang penerimaan terhadap anak.  Selain itu pola asuh permisif juga dilakukan dengan mengabaikan anak. Dicirikan dengan tidak adanya perhatian orang tua terhadap anak dan tidak juga ada hukuman. Pola ini berlatar belakang penolakan terhadap anak.



C.    Kerangka Pikir

Post a Comment for " Pengertian Disiplin "