Latar Belakang Lahirnya Instrumen Nasional HAM
Latar
Belakang Lahirnya Instrumen Nasional HAM
Bagaimana latar belakang lahirnya instrument nasional HAM atau
perundang undangan nasional HAM?
Jaminan hak asasi manusia dalam
UUD 1945 (sebelum perubahan/amandemen) menurut Kuntjara Purbopranoto belum
disusun secara sistematis dan hanya empat pasal yang memuat ketentuan –
ketentuan tentang hak asasi, yakni pasal 27, 28, 29 dan 31. Meskipun demikian
bukan berarti HAM kurang mendapat perhatian, karena susunan pertama UUD 1945
adalah merupakan inti-inti dasar kenegaraan.
Dari keempat pasal tersebut,
terdapat 5 (lima) pokok mengenai hak – hak asasi manusia yang terdapat dalam batang
tubuh UUD 1945, yaitu :
a. Kesamaan kedudukan dan
kewajiban warga negara di dalam hukum dan di muka pemerintahan (Pasal 27 ayat
1);
b. Hak setiap warga negara atas
pekerjaan dan penghidupan yang layak (Pasal 27 ayat 2);
c. Kemerdekaan berserikat dan
berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan
dengan undang – undang (Pasal 28);
d. Kebebasan asasi untuk
memeluk agama bagi penduduk di jamin oleh Negara (Pasal 29 ayat 2);
e. Hak atas pengajaran (Pasal
31 ayat 1).
Masuknya pasal – pasal HAM
dalam UUD 1945 di atas, tidak lepas dari perdebatan yang mendahuluinya antara
kelompok yang keberatan (terutama Soekarno dan Soepomo) dan kelompok yang menghendaki
dimasukan (terutama Moh. Hatta). Alasan kedua pendapat yang berbeda tersebut
sebagaimana dituturkan Mr. Muhammad Yamin dalam bukunya Naskah Persiapan UUD
1945, Jilid I, antara lain sebagai berikut.
Bung Karno menjelaskan bahwa telah
ditentukan sidang pertama bahwa ”kita menyetujui keadilan sosial. Keadilan sosial
inilah protes kita yang maha hebat terhadap dasar individualisme.
Kita menghendaki keadilan
sosial. Buat apa grondwet (undang – undang dasar) menuliskan bahwa manusia
bukan saja mempunyai hak kemerdekaan memberi suara, mengadakan persidangan dan
berapat, jikalau misalnya tidak ada sociale rechvaardigheid (keadilan sosial) yang
demikian itu ? Buat apa kita membikin grondwet, apa guna grondwet itu kalau ia
tidak dapat mengisi perut orang yang hendak mati kelaparan. Maka oleh karena
itu, jikalau kita betul – betul hendak mendasarkan negara kita kepada paham
kekeluargaan, faham tolong – menolong, faham gotong – royong dan keadilan
sosial, enyahkanlah tipe-tipe pikiran, tiap-tiap faham individualisme dan
liberalisme daripadanya. Kita rancangkan UUD dengan kedaulatan rakyat, dan
bukan kedaulatan individu. Inilah menurut paham Panitia Perancang UUD
satu-satunya jaminan, bahwa bangsa Indonesia seluruhnya akan selamat di kemudian
hari.” Demikianlah pendapat Bung Karno, yang kemudian didukung oleh Soepomo.
Sedangkan pendapat Bung Hatta,
antara lain menyatakan : “…Mendirikan negara yang baru, hendaknya kita
memperhatikan syarat-syarat supaya negara yang kita bikin jangan sampai menjadi
negara kekuasaan.
Kita menghendaki Negara
Pengurus, kita membangun masyarakat baru yang berdasarkan gotong-royong, usaha bersama,
tujuan kita adalah membaharui masyarakat.
Tetapi disebelah itu janganlah
kita memberikan kekuasaan yang tidak terbatas kepada negara untuk menjadikan di
atas negara baru itu suatu Negara Kekuasaan. Sebab itu ada baiknya dalam salah
satu fasal yang mengenai warga negara disebutkan juga sebelah hak yang sudah diberikan
kepada misalnya tiap–tiap warga negara rakyat Indonesia, supaya tiap – tiap
warga negara jangan takut mengeluarkan suara”. Demikianlah pendapat Bung Hatta,
yang pendapatnya kemudian didukung oleh Muhammad Yamin.
Dengan demikian memahami
pokok-pokok hak asasi manusia dalam UUD 1945 rujukannya (referensinya) yang
akurat adalah pendapat Bung Hatta, yang esensinya mencegah berkembangnya Negara
Kekuasaan. Bung Hatta melihat dalam kenyataan pelanggaran hak asasi manusia terutama
dilakukan oleh penguasa.
Sedangkan pemikiran Bung Karno
yang memandang hak asasi manusia bersifat individualisme dan dipertentangkan
dengan kedaulatan rakyat dan keadilan sosial sampai saat ini masih dianut
terutama oleh penguasa.
Apa yang dikhawatirkan oleh
Bung Hatta terbukti sudah. Hal itu dapat dicermati bahwa pada abad ke-20 masih
tampak perjuangan hak asasi manusia terutama dilakukan masyarakat terhadap
pemerintahan sendiri yang otoriter. Sampai memasuki abad ke – 21 persoalan pada
abad ke-20 masih belum berakhir. Hanya saja persoalan HAM, demokrasi dan
lingkungan telah menjadi isue global, sehingga negara-negara yang otoriter
semakin terdesak untuk merealisasikan hak asasi manusia tidak hanya dari tuntutan
masyarakatnya tetapi juga dari dunia internasional.
Oleh karena itu, bangsa
Indonesia sebagai warga dunia dan anggota PBB memiliki tanggungjawab moral
untuk melaksanakan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia.
Begitu pula atas desakan
masyarakat bagi pengembangan kehidupan yang demokratis dan pelaksanaan HAM
serta adanya Ketetapan MPR No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia, maka
dipandang perlu membentuk Undang – Undang HAM. UURI Nomor 39 Tahun 1999 tentang
HAM lahir dalam suasana di atas.
Post a Comment for "Latar Belakang Lahirnya Instrumen Nasional HAM"