Pengertian Pi’il Pesenggiri dalam Masyarakat Saibatin
Pengertian Pi’il Pesenggiri dalam Masyarakat Saibatin
Masyarakat suku Lampung khususnya masyarakat adat
pesisir, sebagai penganut adat saibatin dengan adat istiadatnya yang masih
cukup dominan dalam masyarakat sebab adat merupakan media pembinaan dan
pendidikan bagi warganya. Pembinaan kepada warga tertuang dalam suatu pandangan
hidup pi’il pesenggiri.
Istilah pi’il pesenggiri kemungkinan besar berasal
dari kata “pi’il”, dalam bahasa arab yang berarti perbuatan atau perangai dan
kata “pasanggiri”, yaitu pahlawan rakyat Bali Utara terhadap serangan pasukan
Majapahit yang dipimpin oleh Arya Damar.
Dalam buku adat dan upacara perkawinan daerah
lampung (Depdikbud, 1984;24) disebutkan bahwa : “pi’il pesenggiri yaitu rasa
harga diri, rasa malu dengan orang lain, rasa pantang kalah, rasa mudah
tersinggung, rasa lebih, dan sebagainya.
Dalam buku falsafah Pi’il Pesenggiri sebagai norma
tata krama kehidupan sosial Masyarakat Lampung (Depdikbud, 1996;4) disebutkan
bahwa “pi’il pesenggiri adalah falsafah hidup masyarakat Lampung yang merupakan
falsafah terbuka, yaitu falsafah yang dapat menerima masukan-masukan,
norma-norma, serta nilai-nilai luhur yang sesuai dengan kepribadain bangsa dan
kemajuan sain, dan teknologi.
Sedangkan menurut Puspa Widjaya dalam skripsi
Mardhiah (2009;22) bahwa “Pi’il Pesenggiri adalah suatu sistem tata moral
masyarakat Lampung yang berfungsi sebagai etos yang memberikan pedoman bagi
prilaku dan bagi masyarakat untuk membangun karya-karyanya.
Dari ketiga pengertian diatas maka dapat
disimpulkan bahwa Pi’il Pesenggiri adalah falsafah hidup masyarakat Lampung
mengenai tata moral yang sangat terbuka dengan kemajuan zaman namun memiliki
kepribadian yang sangat keras jika menyangkut kehormatan diri keluarga dan
adat.
Dengan demikian pi’il pesenggiri berarti perangai
yang keras yang tidak mau mundur terhadap tindakan dengan kekerasan,
lebih-lebih yang menyangkut tersinggungnya nama baik keturunan atau kehormatan
pribadi dan kerabat.
Lebih lanjut dalam kitab Kuntara Raja Niti
menyatakan bahwa nilai dasar yang menjadi pedoman atau pegangan pokok
masyarakat suku Lampung terkandung dalam adi-adi (pantun) adalah sebagai
berikut :
“Tandane jelma Lampung wat pi’il pesenggiri ya
ngemik liom khega dikhine
balak, ulin ya bujuluk ya budok angkon
muakhi, sekenian di cakha, pupudak
waya ulin ya pandai ya tetangah
tetanggah, ngulah jejama begawiy balak
khepot delom mufakat”.
Artinya :
“Tandanya orang Lampung ada pi’il pesenggiri, ia
berjiwa besar, mempunyai
malu,
mempunyai malu menghargai diri, karena ia lebih bernama besar dan
bergelar,
suka bersaudara, beri-memberi, terbuka tangan, karena pandai ia
ramah,
suka bergaul, mengolah bersama pekerjaan besar, tolong menolong”.
Jadi berdasarkan pantun tersebut dapat disimpulkan
bahwa pada dasarnya pi’il pesenggiri adalah suatu tindakan yanng dilakukan oleh
seseorang, dimana tindakan tersebut menyangkut harga diri dan rasa malu yang
berhubungan dengan “khopkhama delom bekerkhja”, “bupudak waya”, “tetengah
tetanggah”, “khepot delom mufakat” terutma dalam hubungan kekeluargaan sikap
dan watk pi’il pesenggiri ini masih menonjol di lingkungan masyarakat Lampung
pesisir (saibatain).
Menurut kitab Kuntara Raja Niti (Radar Lampung, 3
mei 2009;11) “pi’il pesenggiri Lampung Pesisir dan Pepadun selalu diiringi oleh
komponen atau unsur-unsur sebagai berikut.
1. Khopkhama dalam bekekhja atau bejuluk
buadek, artinya merupakan suatu
kebiasaan atau keharusan bagi setiap masyarakat Lampung saibatin
untuk
mempunyai juluk yaitu nama adat yang diberikan kepada seseorang yang
belum
menikah baik kepada pria atau wanita, dan apabila ia telah dewasa dan
berumah tangga, maka akan memakai adek atau gelar tua yang
diresmikan
atau
diupacarakan dihadapan para pemuka adat dan kerabat.
2. Bupudak Waya atau nemui nyimah, artinya
selalu membuka diri untuk menerima tamu. Setiap seseorang dituntut untuk
bersikap ramah dan santun kepada setiap orang, bukan hanya sekedar kepada tamu
tetapi kepada seluruh masyarakat, santun kepada seluruh masyarakat dan
memberikan sesuatu yang bermanfaat kepada orang banyak.
3. Tengah tetanggah atau nengah nyappur,
artinya sikap berkenalan dan bersahabat dengan siapa pun karena pandai bergaul
dalam masyarakat, guna menjalin hubungan memperkokoh persatuan dan kesatuan dan
saling berinteraksi dengan orang lain.
4. Khepot delom mufakat atau sakai sembayan,
artinya tidak semua pekerjaan dan kegiatan dapat diatasi oleh perseorangan maka
seperti halnya suku bangsa lain, masyarakat suku lampung mengenal kerja sama,
tolong menolong, antara satu dengan yang lain silih berganti dsan bergotong
royong dalam mengerjakan sesuatu yang berat. Khepot dalam mufakat ini
perwujudannya tidak saja dalam hal bantuan tenaga tetapi juga bantuan materi.
5. Bupi’il bupesenggiri artinya, hal yang
menyangkut harga diri, prilaku yang perasa dan sikap yang selalu menjaga,
pantang mundur, menegakkan nama baik atau martabat secara pribadi maupun
kelompok kemuakhian atau kebuayan. Pi’il pesenggiri ini pada dasarnya untuk
mendidik seseorang memakai adab sopan santun tidak mau direndahkan dan tidak
mau juga merendahkan orang lain, jika melakukan sesuatu pekerjaan atau
mengabulkan sesuatu walaupun akan merugikan dirinya sendiri.
Post a Comment for "Pengertian Pi’il Pesenggiri dalam Masyarakat Saibatin"