Pengertian Pelaksanaan Adat Perkawinan
1. Pengertian Pelaksanaan Adat Perkawinan
Perkawinan
merupakan ikatan batin antara seorang pria dan wanita sebagai pasangan suami
isteri dengan tujuan melanjutkan keturunan serta membentuk keluarga yang
bahagia, sakinah, mawaddah, dan warohmah. Seperti kodrat manusia sebagai
makhluk sosial. Manusia sudah ditakdirkan untuk saling melengkapi satu
sama lain.
Pernikahan
adalah bentukan kata benda dari kata dasar nikkah yang berasal dari bahasa
Arab yang berarti perjanjian perkawinan
berikutnya kata itu berasal dari kata lain dalam Bahasa Arab yaitu kata nikkah
yang berarti persetubuhan.
Pengesahan secara
hukum suatu pernikahan biasanya terjadi pada saat dokumen tertulis yang
mencatatkan pernikahan ditanda-tangani. Upacara pernikahan sendiri biasanya
merupakan acara yang dilangsungkan melalui upacara yang didasarkan pada
adat-istiadat yang berlaku, dan kesempatan untuk merayakannya bersama teman dan
keluarga. Wanita dan pria yang sedang melangsungkan pernikahan dinamakan pengantin, dan setelah upacaranya
selesai kemudian mereka dinamakan suami dan istri
dalam ikatan perkawinan.
Perkawinan
dalam islam ialah suatu akad atau perjanjian mengikat antara seorang laki-laki
dan perempuan untuk menghalalkan hubungan kelamin antara kedua belah pihak
dengan sukarela dan kerelaan kedua belah pihak merupakan suatu kebahagiaan
hidup berkeluarga yang diliputi rasa kasih sayang dan ketentraman (sakinah)
dengan cara yang diridho-hi Allah SWT.
Selain
itu juga dalam Al Quran disebutkan landasan mengapa seseorang melakukan
pernikahan yang artinya sebagai berikut:
Dan
nikahilah (kawinilah) orang-orang yang sendiri diantara kamu dan orang-orang
yang berhak (layak) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan hamba-hamba
sahayamu yang perempuan, jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan
karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui. (QS
An-Nur ayat 32).
Menurut
Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974 menyatakan, bahwa perkawinan adalah
ikatan batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri
dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Perkawinan berdasarkan hukum adat tidak
semata-mata berarti suatu ikatan seorang pria dan wanita sebagai suami isteri
untuk maksud mendapatkan keturunan dan membangun kehidupan rumah tangga, tetapi
juga berarti suatu hubunganyang menyangkut para anggota kerabat pihak isteri
dan pihak suami. (Hilman Hadikusuma,2003:70).
Adapun yang dimaksud dengan pelaksanaan
adat perkawinan adalah segala adat kebiasaan yang dilazimkan dalam suatu
masyarakat untuk mengatur masalah-maslah yang berhubungan dengan perkawinan
yang direalisasikan dalam bentuk keiatab-kegiatan dalam usaha mematangkan,
melaksanakan, dan menetapkan jalannya suatu perkawinan. (Depdiknas,1987:3)
Pelaksanaan upacara perkawinan merupakan
langkah yang penting dalam proses pengintegrasian manusia dengan tata alam,
dimana dalam pelaksanaan tata upacara perkawinan harus memenuhi syarat yang
sudah ditentukan oleh tradisi untuk masuk kedalam sesuatu yang sakral. Hubungan
antara adat dan upacara perkawinan dengan undang-undang tidak bertentangan sama
sekali.
Banyak pengertian yang berkaitan dengan
hal ini. Pelaksanaan adat perkawinan adalah tradisi kepercayaan, kebiasaan
ajaran nenek moyang yang diturunkan kepada generasi berikutnya tentang
perkawinan yang merupakan perjanjian yang kokoh, kuat lahir dan batin anatara
seorang pria dan wanita untuk membentuk keluarga bahagia sesuai dengan tujuan
dan ketentuan dari sang pencipta dalam rangka berbakti/beribadah kepada-Nya.(Moertjipto,2002:35).
Berdasarkan beberapa definisi diatas dapat
dikatakan bahwa pelaksanaan adat perkawinan merupakan adat kebiasaan yang lazim
digunakan dalam suatu upacara perkawinan suatu masyarakat yang bertujuan mengatur
masalah-masah pekawinan antara seoarang pria dan wanita guna membentuk suatu
keluarga yang bahagia dalam rangka beribadah kepada sang pencipta.
1.1 Syarat Sahnya Perkawinan
Seseorang
yang akan melakukan suatu perkawinan maka sebelumnya seseorang itu harus mampu
memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan. Perkawinan adalah sah apabila
dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu (Pasal 2
Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974).
Sedangkan
syarat-syarat perkawinan berdasarkan Undang-Undang adalah:
a. Perkawinan
didasarkan atas persetujuan kedua calon
mempelai.
b.
Untuk
melangsungkan perkawinan seorang yang belum
mencapai umur 21(dua puluh satu) tahun
harus mendapat
izin kedua orang tua.
c. Dalam hal seorang dari kedua orang tua
meninggal dunia
atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan
kehendaknya, maka izin yang dimaksud ayat (2)
pasal ini
cukup diperoleh dari orang tua yang masih
hidup atau dari
orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya.
d.
Dalam
hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau
dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan
kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali orang yang
memelihara atau keluarga yang selama mereka
masih
hidup dan dalam keadaan menyatakan
kehendaknya.
e. Dalam hal ada
perbedaan antara orang-orang yang
dimaksud dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal
ini, atau salah
seorang atau lebih diantara mereka tidak
menyatakan
pendapatnya, maka Pengadilan dalam daerah
tempat
tinggal orang yang akan melangsungkan
perkawinan atas
permintaan orang tersebut dapat memberikan
ijin setelah
lebih dahulu mendengar orang-orang yang
tersebut dalam
ayat (2), (3) dan (4) dalam pasal ini.
Ketentuan
tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini berlaku sepanjang hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan
lain (Pasal 6 Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974).
Dari
penjelasan mengenai beberapa syarat-syarat perkawinan menurut Undang-Undang
diatas, kita bisa mengetahui hal-hal yang harus dipenuhi supaya perkawinan yang
akan dilangsungkan adalah perkawinan yang sah menurut Undang-Undang dan secara
hukum adat.
1.2 Adat Perkawinan Ogan
Adat perkawinan di daerah Baturaja
adalah adat perkawianan Ogan karena sebagian besar penduduk yang berdiam di
daerah ini adalah suku asli Ogan. Adat perkawinan Ogan dikenal dengan nama ngunduh
mantu.
Ngunduh
mantu adalah perkawinan yang dilakukan melalui musyawarah
antara pihak orang tua laki-laki dan perempuan. Perkawinan ini dilakukan
setelah pihak laki-laki bersama pihak keleluarga dan seorang pemuka desa atau
pemuka adat mendatangi rumah pihak perempuan untuk melakukan lamaran. Pada
kesempatan ini pihak laki-laki memberitahukan maksud lamaran kepada keluarga
pihak perempuan dan berunding untuk menentukan waktu pelaksanaan upacara
perkawinan. Sementara itu keluarga dari pihak gadis mengungkapkan apa saja yang
diingini. Selain mas kawin biasanya berupa wajik (pelak) yang wajib
disediakan oleh pihak laki-laki.
Ngunduh
mantu merupakan suatu bentuk perkawinan masyarakat adat
Ogan dimana pihak laki-laki mengunduh (mengambil) mempelai perempuan
setelah mampu memenuhi persyaratan yang diajukan oleh pihak perempuan (degadaian).
Setelah perkawinan ini pihak isteri ikut kerumah mempelai laki-laki. Selama
pasangan pengantin baru ini belum mampu hidup mapan secara mandiri maka wajib
hukumnya sang isteri ikut tinggal dirumah suami.
Bentuk
perkawinan Ogan (ngunduh mantu) ini hampir sama seperti pada masyarakat
lainnya. Namun, yang membedakan adalah tata cara atau proses pelaksanaan
perkawinannya saja.
1.3 Tata Cara Adat Perkawinan Ogan
Pelaksanaan
perkawinan adat Ogan dilakukan melalui beberapa tahapan. Berdasarkan wawancara
dengan tokoh tetua adat Ogan Ibu Fatimah (68 th) pada hari jumat tanggal 2
April 2010 pukul 14:40 WIB di rumahnya tepatnya di kampung IV Desa Gunung
Liwat, menjelaskan bahwa tahap-tahap
tata
cara adat perkawinan Ogan (ngunduh mantu) yang seharusnya dilaksanakan adalah sebagai berikut:
1.
Mintak status
Calon
mempelai laki-laki datang sendirian ke rumah pihak perempuan untuk menanyakan
apakah sudah boleh untuk datang bersama kedua orang tua dengan tujuan masati
rasan (menentukan kelanjutan hubungan).
2.
Masati rasan
Setelah
mendapat ijin dari kedua orang tua pihak perempuan, maka pihak laki-laki datang
kembali bersama kedua orang tua kerumah pihak perempuan untuk memastikan apakah
benar antara anaknya (pihak laki-laki) menjalin hubungan dengan anak dari pihak
perempuan (masati rasan).
3.
Tendang malam
Setelah
mendapat jawaban dari pihak perempuan pada waktu yang telah disepakati bersama.
Keluarga pihak laki-laki datang kembali kerumah pihak perempuan untuk melakukan
lamaran (madukan rasan). Dalam kesempatan ini pihak laki-laki memberikan
kesempatan kepada pihak perempuan untuk mengemukakan apa saja yang diingini
oleh pihak perempuan (degedaian) biasanya berupa permintaan untuk
membawa wajik (pelak) dan mas kawin. Dan apabila keluarga pihak
laki-laki sanggup memenuhinya maka pihak laki-laki mengajukan permintaan untuk
memilih waktu yang tepat untuk pelaksanaan akad nikah dan pesta pernikahan agar
terjadi kesepakatan (mutuskan kate). Pihak laki-laki juga meminta waktu
untuk datang kembali untuk memenuhi permintaan pihak perempuan.
4.
Ngantatkan seserahan
Sesuai
waktu yang telah disepakati pihak laki-laki datang kembali bersama pemuka adat
dengan membawa mukun (rantang besi) yang berisi wajik (pelak) dan
membawa mas kawin yang dikehendaki pihak perempuan serta sejumlah uang sebagai
bentuk bantuan dana dalam pelaksanaan sedekah nanti.
5.
Nunggalkan ngesanak
(pertemuan kerabat)
Nunggalkan
ngesanak merupakan suatu pertemuan antar semua kerabat
dimana dalam pertemuan ini orang tua calon pengantin menyampaikan bahwa akan
melangsungkan pernikahan anaknya. Jadi, disini pihak keluarga mohon bantuan
untuk memperlancar proses tersebut yaitu dengan jalan meminta kerabat bersedia hentauan
(menyediakan hidangan/makanan di rumah masing- masing) pada saat payuan
(sedekah).
6.
Napai
Berdasarkan
waktu yang telah disepakati maka 2 hari sebelum upacara pernikahan semua
anggota keluarga laki-laki berkumpul dirumah calon memepelai laki-laki untuk
membahas dan mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan saat upacara
pernikahan nanti.
Dilain
pihak, dua atau tiga orang (biasanya bujang) ditugaskan oleh keluarga mempelai
untuk menyampaikan niat atau keinginan akan mengadakan sedekah pernikahan pada
tanggal yang telah disepakati. Masyarakat ogan menyebutnya ngajak. Orang
yang diberi tugas wajib mendatangi semua rumah warga kampung guna menyampaikan
hal tersebut. Warga diminta untuk membantu pekerjaan-pekerjaan di rumah
keluarga mempelai pada saat ngukus dan datang kembali saat payuan
untuk merayakan pesta perkawinan secara bersama-sama.
7.
Ngukus
(masak-memasak)
Ngukus
adalah sehari sebelum upacara pernikahan. Pada hari ini juga dilakukan akad
nikah (bambangan) dan ijab kabul di depan saksi dan dicatat secara hukum
guna mendapatkan akta nikah serta pernikahan itu dianggap sah secara hukum adat
dan hukum negara. Semua keluarga dan penduduk desa datang kerumah si empunya
hajat dengan membawa tumbu (baskom kecil) yang berisi beras dan kelapa
serta ayam atau telur sebagai bentuk solidaritas warga Ogan. Ibu-ibu memasak
bersama dan bapak-bapak memotong hewan seperti ayam, kambing, atau sapi untuk
dimasak oleh ibu-ibu sebagai lauk dalam upacara pernikahan yang dilaksanakan
esok harinya.
Pada
hari ini juga muda-mudi yang ada di desa itu
saling membantu dalam membuat janur dan dekorasi (hiasan tambahan) untuk
memperindah rumah pengantin. Saat inilah terjadi keakraban antara muda-mudi
kampung.
8.
Payuan
(sedekah)
Setelah
melakukan persiapan yang matang maka tibalah saat upacara pernikahan (payuan).
Pengantin mengenakan pakaian adat Sumatera Selatan berupa songket. Saat payuan
ini semua kerabat berkumpul di rumah pengantin. Pada hari ini terdapat juga
acara-acara khas masyarakat Ogan antara lain pantauan yaitu tamu
undangan di ajak kerumah sanak keluarga pengantin untuk makan siang. Sedangkan
semua sanak keluarga dekat yang turut membantu keluarga pengantin dengan cara
menyiapkan hidangan di rumah masing- masing disebut hentauan. Hidangan
ini diperuntukan bagi tamu undangan yang hadir. Ini merupakan bentuk
solidaritas kerabat.
Pihak
mempelai pria biasanya mengajak keluarga dari pihak nenek si pengantin pria
untuk datang. Kemudian pihak keturunan nenek tersebut mengajak orang terdekat
untuk bersama-sama datang kerumah pengantin. Ini dinamakan panggilan.
Setiap orang yang dipanggil wajib membawa bakul yang berisi kain dan takung
(semacam tikar) untuk diserahkan kepada keluarga pengantin. Setelah acara
sedekah selesai pada waktu pulang para anggota panggilan tadi diberi bungkusan
berupa nasi dan lauk secukupnya sebagai tanda terima kasih.
9.
Pembubaran Panitia
Setelah
semua acara selesai, pada malam harinya semua anggota keluarga diajak berkumpul
kembali dirumah pengantin. Pada kesempatan ini orang tua pengantin mengucapkan
terima kasih dan makan malam bersama.
Menurut Ibu Fatimah dari beberapa tahapan tersebut
ada beberapa tahapan yang tidak boleh ditinggalkan yaitu tahapan mintak status, tendang malam, ngukus dan payuan. Pada tahapan mintak status wajib dilaksanakan karena
merupakan titik awal dari boleh atau tidaknya sebuah perkawinan dilakukan.
Tahapan tendang malam juga wajib
dilaksanakan karena pada tahap ini adalah waktu untuk menyerahkan seserahan dan
penentuan kapan proses perkawinan akan dilaksanakan. Tahapan ngukus juga tidak bisa ditinggalkan
karena pada tahapan ini ada upacara sakral dan inti dari sebuah perkawinan
yaitu proses ijab kabul pengantin. Yang terakhir adalah tahapan payuan yang tidak boleh dihilangkan
karena merupakan simbol dari perayaan sebuah perkawinan. Payuan dapat dilakuukan secara sederhana saja atau bahkan secara
mewah.
Post a Comment for " Pengertian Pelaksanaan Adat Perkawinan"