Pengertian Ibu (Wanita)
1.
Pengertian
Ibu (Wanita)
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Ibu adalah orang perempuan yang telah melahirkan seseorang; sebutan untuk
wanita yang sudah bersuami; panggilan yang takzim kepada wanita baik yang sudah
bersuami maupun yang belum.
Sosok ibu adalah pusat hidup rumah
tangga, pemimpin dan pencipta kebahagiaan anggota keluarga. Sosok ibu
bertanggung jawab menjaga dan memperhatikan kebutuhan anak, mengelola kehidupan
rumah tangga, memikirkan keadaan ekonomi dan makanan anak-anaknya, memberi
teladan akhlak, serta mencurahkan kasih sayang bagi kebahagiaan sang anak.
(Tarbiyah, 2009).
2.
Tinjauan tentang Budaya Pamrih
a.
Pengertian Kebudayaan
Kata
“Kebudayaan” dan “Culture”. Kata
“kebudayaan” berasal dari kata Sansekerta buddhayah,
yaitu bentuk jamak dari buddhi yang
berarti “budi” atau “akal”. Dengan demikian ke-budaya-an dapat diartikan :
“hal-hal yang bersangkutan dengan akal”. Ada sarjana lain yang mengupas kata
budaya sebagai suatu perkembangan dari majemuk budi-daya, yang berarti ”daya dari budi” yang berupa cipta, karsa
dan rasa, sedangkan “kebudayaan” adalah hasil dari cipta, karsa dan rasa itu.
Dalam istilah “antropologi-budaya” perbedaan itu ditiadakan. Kata “budaya”
disini hanya dipakai sebagai suatu singkatan saja dari ‘kebudayaan” dengan arti
yang sama.
Adapun
kata culture, yang merupakan kata
asing yang sama artinya dengan “kebudayaan’ berasal dari kata Latin colere yang berarti “mengolah,
mengerjakan,” terutama mengolah tanah atau bertani. Dari arti ini berkembang
arti culture sebagai “segala daya
upaya serta tindakan manusia untuk mengolah tanah dan merubah alam.”
Beda
kebudayaan dan Peradaban.
Di samping istilah “kebudayaan” ada pula istilah “peradaban”. Hal yang terakhir
adalah sama dengan istilah Inggris civilization,
yang biasanya dipakai untuk menyebut bagian-bagian dan unsur-unsur dari kesenian,
ilmu pengetahuan, adat sopan-santun pergaulan, kepandaian menulis, organisasi
kenegaraan, dan sebagainya. Istilah “peradaban” sering juga dipakai untuk
menyebut suatu kebudayaan yang mempunyai sistem teknologi, ilmu pengetahuan,
seni bangunan, seni rupa, dan sistem kenegaraan dan masyarakat kota yang maju
dan kompleks.
Sistem
Nilai Budaya, Pandangan Hidup, dan Ideologi.
Sistem nilai budaya meruoakan tingkat yang paling tinggi dan paling abstrak
dari adat-istiadat. Hal itu disebabkan karena nilai-nilai budaya itu merupakan
konsep-konsep mengenai apa yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar dari
warga sesuatu masyarakat mengenai apa yang mereka anggap bernilai, berharga,
dan penting dalam hidup, sehingga dapat berfungsi sebagai suatu pedoman yang memberi
arah dan orientasi kepada kehidupan para warga masyarakat tadi.
Walaupun
nilai-nilai budaya berfungsi sebagai pedoman hidup manusia dalam masyarakat,
tetapi sebagi konsep, suatu nilai budaya itu bersifat sangat umum, mempunyai
ruang lingkup yang sangat luas, dan biasanya sulit diterangkan secara rasional
dan nyata. Namun, justru karena sifatnya yang umum, luas dan tak konkret itu,
maka nilai-nilai budaya dalam suatu kebudayaan berada dalam daerah emosional
dari alam jiwa para individu yang menjadi warga dari kebudayaan bersangkutan.
Kecuali itu, para individu itu sejak kecil telah diresapi dengan nilai-nilai
budaya yang hidup dalam masyarakatnya, sehingga konsep-konsep itu sejak lama
telah berakar dalam alam jiwamereka. Itulah sebabnya nilai-nilai budaya dalam
suatu kebudayaan tak dapat diganti dengan nilai-nilai budaya yang lain dalam
waktu yang singkat, dengan cara mendiskusikannya secara rasional.
Dalam
tiap masyarakat, baik yang kompleks maupun yang sederhana, ada sejumlah nilai
budaya yang satu dengan lain berkaitan hingga merupakan suatu sistem, dan
sistem itu sebagai pedoman dari konsep-konsep ideal dalam kebudayaan memberi
pendorong yang kuat terhadap arah kehidupan warga masyarakatnya.
Adapun kebudaaan menurut Kuntjaraningrat (1990 : 234)
memiliki tiga wujud, yaitu :
1. Wujud
Kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai,
norma-norma, peraturan dan sebagainya.
Sifatnya
abstrak, tak dapat diraba atau difoto. Lokasinya ada didalam kepala-kepala,
atau dengan perkataan lain, dalam alam pikiran warga masyarakat di mana
kebudayaan bersangkutan itu hidup. Kalau warga masyarakat tadi menyatakan
gagasan mereka tadi dalam tulisan, maka lokasi dari kebudayaan ideal sering
berada dalam karangan dan buku-buku hasil karya para penulis warga masyarakat
bersangkutan.
2. Wujud
kebudayaan sebagai suatu kompleks aktifitas serta tindakan berpola dari manusia
dalam masyarakat.
Yaitu
disebut sistem sosial, mengenai tindakan berpola dari manusia itu sendiri.
Sistem sosial ini terdiri dari
aktifitas-aktifitas manusia yang berinteraksi, berhubungan, serta bergaul satu
dengan yang lain dari detik ke detik, dari hari ke hari, dan dari tahun ke
tahun, selalu menurut pola-pola tertentu yang berdasarkan adat tata kelakuan.
Sebagi rangkaian aktifitas manusia dalam suatu masyarakat, sistem sosial itu
bersifat konkret, terjadi di sekeliling kita sehari-hari, bisa di observasi, di
foto, dan di dokumentasi.
3. Wujud
kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia.
Yaitu
kebudayaan fisik, dan tak memerlukan banyak penjelasan. Karena berupa sekuruh
total dari hasil fisik dari aktivitas, perbuatan, dan karya semua manusia dalam
masyarakat, maka sifatnya paling konkret, dan berupa benda-benda atau hal-hal
yang dapat diraba, dilihat, dan di foto.
Tiap kebudayaan yang hidup dalam suatu
masyarakat yang berwujud sebagai komunitas desa, kota , atau sebagai kelompok
adat yang lain,bisa menampilkan suatu corak yang khas. “kata Kebudayaan berasal
dari (bahasa Sanserketa) buddhayah
yang merupakan bentuk jamak dari kata buddhi
yang berarti budi atau akal, berdasarkan hal tersebut kebudayaan diartikan
sebagai hal-hal yang bersangkutan dengan budi atau akal”.(Soerjono Soekanto,
2006: 150).
Seorang antropolog, yaitu E. B. Taylor
dalam Soerjono Soekanto (2006: 150), memberikan definisi mengenai kebudayaan
sebagai berikut: “Kebudayaan adalah kompleks yang mencakup pengetahuan,
kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat dan kemampuan-kemampuan
serta kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan oleh manusia sebagai anggota
masyarakat”. Berdasarkan definisi diatas, kebudayaan mencakup semuanya yang
didapatkan atau dipelajari oleh manusia sebagai anggota masyarakat.
Kuntjaraningrat dalam Rusmin Tumanggor
(2010: 19), bahwa “Kebudayaan memiliki unsur-unsur yang terperinci, yaitu
terdiri dari sistem religi dan upacara keagamaan, sistem dan organisasi
kemasyarakatan, sistem pengetahuan, bahasa, kesenian, sistem pencaharian serta
sistem teknologi peralatan”.
Kebudayaan terdiri dari segala sesuatu
yang dipelajari dari pola-pola perilaku yang normatif. Artinya, mencakup segala
cara-cara atau pola-pola berpikir, merasakan dan bertindak. Seseorang yang
meneliti Kebudayaan tertentu akan sangat tertarik dengan objek-objek kebudayaan
seperti rumah, sandang, jembatan, alat-alat komunikasi dan sebagainya.
Parsudi Suparlan dalam Rusmin Tumanggor
(2010: 21), kebudayaan nmenurutnya adalah “keseluruhan pengetahuan yang
dimiliki oleh manusia sebagai makhluk sosial, yang isinya adalah perangkat
model-model pengetahuan pedoman hidup yang secara selektif dapat digunakan
untuk memahami dan menginterpretasi lingkungan yang dihadapi, serta untuk
mendorong dan menciptakan tindakan-tindakan yang diperlukan”. Pendapat ini
menjelaskan mengenai kebudayaan yang dijadikan sebagai pedoman hidup oleh
manusia di dalam kehidupan bermasyarakat.
Berdasarkan pendapat-pendapat para ahli
tersebut, dapat disimpulkan bahwa kebudayaan adalah pelopor berupa
bentuk-bentuk pengetahuan yang dijadikan sebagai fondasi atau acuan oleh
seseorang sebagai bagian dari masyarakat melakukan aktifitas sosial, membuat
materi kebudayaan dalam unsur budaya universal: agama, ilmu pengetahuan,
teknologi, ekonomi, organisasi sosial, bahaasa dan komunikasi serta kesenian.
Budaya merupakan suatu kebiasaan yang
mengandung nilai-nilai penting dan fundamental yang diwariskan dari generasi ke
generasi. Warisan tersebut harus dijaga dan dipelihara agar tidak luntur serta
hilang sehingga dapat dilestarikan dan dipelajari oleh generasi berikutnya.
b.
Unsur-unsur Kebudayaan
Keseluruhan
dari tindakan manusia yang berpola itu berkisar sekitar pranata-pranata
tertentu yang amat banyak jumlahnya; dengan demikian sebenarnya suatu
masyarakat yang luas selalu dapat kita perinci ke dalam pranata-pranata yang
khusus. Sejajar dengan itu suatu kebudayaan yang luas itu selalu dapat pula
kita perinci ke dalam unsur-unsurnya yang khusus.
Para
sarjana antropologi yang biasa menanggapi suatu kebudayaan (misalnya kebudayaan
minangkabau, Bali, atau Jepang) sebagai suatu keseluruhan yang terintergrasi,
pada waktu analisa membagi keseluruhan itu ke dalam unsur-unsur besar yang
disebut “unsur-unsur kebudayaan universal” atau
cultural universals. Istilah universal itu menunjukkan bahwa unsur-unsur
tadi bersifat universal, jadi unsur-unsur tadi ada dan bisa didapatkan di dalam
semua kebudayaan dari semua bangsa di manapun di dunia. Mengenai apa yang
disebut cultural universals itu, ada
beberapa pandangan yang berbeda di antara para sarjana antropologi. Berbagai
pandangan yang berbeda itu serta alasan perbedaannya diuraikan oleh C.
Kluckhohn dalam sebuah karangan berjudul Universal
Categories of Cultures (1953). Dengan mengambil sari dari berbagai kerangka
tentang unsur-unsur kebudayaan universal yang disusun oleh beberapa sarjana
antropologi itu, maka saya berpendapat bahwa ada tujuh unsur kebudayaan yang
dapat ditemukan pada semua bangsa di dunia. Ketujuh unsur yang dapat kita sebut sebagai isi pokok
dari tiap kebudayaan di dunia itu adalah :
- Bahasa
- Sistem
Pengetahuan
- Organisasi
Sosial
- Sistem
Peralatan hidup dan teknologi
- Sistem
mata pencaharian hidup
- Sistem
religi
- Kesenian
Fokus
Kebudayaan.
Banyak kebudayaan mempunyai suatu unsur kebudayaan
atau beberapa pranata tertentu yang merupakan suatu unsur pusat dalam
kebudayaan, sehingga digemari oleh sebagian besar dari warga masyarakat, dan
dengan demikian mendominasi banyak aktivitas atau pranata lain dalam kehidupan
masyarakat. Contoh dari unsur-unsur kebudayaan yang dominan seperti itu adalah
misalnya kesenian dalam masyarakat orang Bali, gerakan kebatinan dan mistik
dalam kebudayaan golongan pegawai negeri, atau priyayi di Jawa Tengah, peperangan antara federasi-federasi
kelompok-kelompok kekerabatan dalam masyarakat suku bangsa Dani di Lembah Besar
Baliem di Pegunungan Jayawijaya di Irian Jaya, atau kula dalam masyarakat penduduk Trobriand.
Etos
kebudayaan.
Suatu kebudayaan sering memancarkan keluar suatu watak khas tertentu yang
tampak dari luar artinya yang kelihatan orang asing. Watak khas itu, yang dalam
ilmu antropologi disebut ethos,
sering tampak pada gaya tingkah laku warga masyarakatnya, kegemaran-kegemaran
mereka, dan berbagai benda budaya hasil karya mereka. Berdasarkan konsep itu,
maka seorang Batak misalnya, yang mengamati kebudayaan Jawa, sebagai orang
asing yang tidak mengenal kebudayaan jawa dari dalam, dapat mengatakan bahwa
watak khas kebudayaan jawa memancarkan keselarasan, kesuraman, ketenangan
berlebih-lebihan, sehingga sering menjadi kelamban-an; kegemaran akan tingkah
laku yang mendetail ke dalam, atau njelimet,
dan kegemaran akan karya dan gagasan-gagasan yang berbelit-belit. Kemudian
gambaran orang batak mengenai watak kebudayaan jawa tadi biasanya akan
diilustrasikan dengan bahasa jawa yang terpecah ke dalam tingkat-tingkat bahasa
yang sangat rumit dan mendetail, dengan sopan santun dan gaya tingkah laku yang
menganggap pantang berbicara dan tertawa keras-keras, gerak-gerik yang ribut
dan agresif, tetapi menilai tinggi tingkah laku yang tenang tak-tergoyahkan,
dengan kegemaran orang Jawa akan warna-warna yang gelap dan tua, akan seni
suara gamelan yang tidak keras, akan benda-benda kesenian dan kerajinan dengan
hiasan-hiasan yang sangat mendetail dengan bentuk-bentuk berliku-liku yang
makin kedalam menjadi kecil, dan sebagainya.
Pikiran
Kolektif. Sudah sejak akhir abad ke-19 ada
seorang ahli sosiologi dan antropologi Perancis, bernama E.Durkheim, yang
mengembangkan konsep representations
collectives atau pikiran-pikiran kolektif dalam sebuah karangan berjudul : Representations individuelles et
Representations Collectives. (1898)
Cara
Durkheim menguraikan konsep itu pada dasarnya tidak berbeda dengan cara ilmu
psikologi menguraikan konsep berpikir. Ia juga beranggapan bahwa
aktivitas-aktivitas dan proses-proses rohaniah seperti : penangkapan
pengalaman, rasa, sensasi, kemauan, keinginan, dan lain-lain itu, terjadi dalam
organisme fisik dari manusia dan khususnya berpangkal di otak sistem syarafnya.
Akal manusia mempunyai kemampuan untuk menghubungkan proses-proses sekunder,
menjadi bayangan-bayangan dan jumlah dari semua bayangan mengenai suatu hal
yang khas, menjadi gagasan. Suatu gagasan serupa itu oleh Durkheim disebut representation, dan oleh karena gagasan
berada dalam alam pikiran seorang individu, maka disebutnya representation individuelle.
Gagasan-gagasan
seperti itu bisa juga dimiliki oleh lebih dari suatu individu, malahan kemudian
oleh sebagian besar dari warga suatu masyarakat. Dalam hal itu kita sering
bicara tentang “gagasan umum” atau “gagasan masyarakat”, sedangkan Durkheim
bicara tentang “gagasan kolektif” atau representation
collective. Kecuali itu Durkheim berpendapat bahwa suatu gagasan yang sudah
dimiliki oleh sebagian besar warga masyarakat bukan lagi berupa satu gagasan
tunggal mengenai suatu7 hal yang khas, melainkan biasanya sudah berkaitan
dengan gagasan lain yang sejenis menjadi suatu kompleks gagasan-gagasan,
sehingga ia selalu mempergunakan istilah representations
cpllectives dalam bentuk jamak. Untuk membedakan antara adanya satu gagasan
tunggal dengan adanya satu kompleks dari berbagai gagasan yang dimiliki oleh
sebagian besar dari warga masyarakat, agar jelas sebaiknya kita pakai istilah
khusus untuk menerjemahkan isitlah durkheim yang bentuk jamak, yaitu isitlah
“pikiran kolektif”, sebab isitilah “pikiran” memang lebih luas sifatnya dari
istilah ‘gagasan”.
Post a Comment for " Pengertian Ibu (Wanita) "