Pengertian Belajar
Pengertian
Belajar
Belajar merupakan suatu kegiatan yang
tidak terpisahkan dari kehidupan manusia. Setiap orang, baik disadari maupun tidak selalu
melaksanakan aktivitas belajar. Kegiatan harian yang dimulai dari bangun tidur
sampai dengan tidur kembali akan selalu diwarnai oleh aktivitas belajar. Dengan
belajar manusia dapat mengembangkan potensi-potensi yang dibawanya sejak lahir.
Aktualisasi potensi ini sangat berguna bagi manusia untuk dapat menyesuaikan
diri demi pemenuhan kebutuhannya.
Sebagai
landasan penguraian mengenai apa yang dimaksud dengan belajar, Purwanto
(2003:84) menyimpulkan definisi belajar dari beberapa ahli diantaranya:
a.
Hilgard dan Bower dalam buku Theories of Learning (Dalam
Purwanto, 2003:84) mengemukakan belajar berhubungan dengan perubahan tingkah
laku seseorang terhadap situasi tertentu yang disebabkan oleh pengalamannya
yang berulang-ulang dalam situasi itu, di mana perubahan tingkah laku itu tidak
dapat dijelaskan atas dasar kecenderungan respon pembawaan, kematangan, atau
keadaan-keadaan sesaat seseorang (misalnya kelelahan, pengaruh obat dan
sebagainya).
b.
Gagne dalam buku The Conditions of Learning (Dalam
Purwanto, 2003:84) menyatakan bahwa belajar terjadi apabila suatu situasi
stimulus bersama dengan isi ingatan mempengaruhi siswa sedemikian rupa sehingga
perbuatannya berubah dari waktu sebelum ia mengalami situasi itu ke dalam waktu
sesudah ia mengalami situasi tadi.
c.
Morgan dalam buku Introduction to Psycology (Dalam
Purwanto, 2003:84) mengemukakan bahwa belajar adalah setiap perubahan yang
relatif menetap dalam tingkah laku yang terjadi sebagai suatu hasil dari
latihan atau pengalaman.
d.
Witherington dalam buku Educational Psycology (Dalam
Purwanto, 2003:84) mengemukakan belajar adalah suatu perubahan di dalam
kepribadian yang menyatakan diri sebagai suatu pola baru dari pada reaksi yang
berupa kecakapan, sikap, kebiasaan, kepandaian atau pengertian.
Sementara
Darsono (2000:3-4) juga menyimpulkan definisi belajar sebagai suatu perubahan
dari beberapa ahli di antaranya :
a.
Morris L. Bigge dalam buku Learning Theories for
Theacers (Dalam Darsono, 2000:3-4) mengemukakan belajar adalah perubahan
yang menetap dalam kehidupan seseorang yang tidak diwariskan secara genetis.
Perubahan itu terjadi pada pemahaman (insight), perilaku, persepsi,
motivasi atau campuran dari semuanya secara sistematis sebagai akibat
pengalaman dalam situasi tertentu.
b.
Marle J. Moskowitz dan Arthur R. Orgel dalam buku General
Psychology (Dalam Darsono, 2000:3-4)mengemukakan belajar adalah perubahan
perilaku sebagai hasil langsung dari pengalaman dan bukan akibat
hubungan-hubungan dalam sistem syaraf yang dibawa sejak lahir.
c.
James O. Whittaker dalam buku Introduction to
Psycholog (Dalam Darsono, 2000:3-4)mendefinisikan belajar sebagai proses
yang menimbulkan atau merubah perilaku melalui latihan atau pengalaman.
Perubahan itu tidak termasuk perubahan fisik, kematangan, karena sakit,
kelelahan, dan pengaruh obat-obatan.
d.
Aaron Quinn Sartain dkk dalam buku Psychology:
Understanding Human Behavior (Dalam Darsono, 2000:3-4)medefinisikan belajar
sebagai suatu perubahan perilaku sebagai hasil pengalaman. Yang termasuk dalam
perubahan ini antara lain cara merespon suatu sinyal, cara mengusai suatu ketrampilan
dan mengembangkan sikap terhadap suatu objek.
e.
W.S Wingkel dalam buku Psikologi Pengajaran (Dalam
Darsono, 2000:3-4)mengemukakan belajar adalah suatu interaksi mental/ psikis
yang berlangsung dalam interaksi aktif dengan lingkungan, yang menghasilkan
perubahan dalam pengetahuan, pengalaman, ketrampilan, dan nilai-nilai.
Selain definisi di atas, ada beberapa
definisi belajar secara khusus yaitu “definisi belajar yang didasarkan pada
aliran psikologi tertentu” (Darsono 2000:5) di antaranya :
a.
Belajar
menurut aliran Behavioristik
Belajar merupakan “proses perubahan
perilaku karena adanya pemberian stimulus yang berakibat terjadinya tingkah
laku yang dapat diobservasi dan diukur” (Darsono 2000:5). Supaya tingkah laku (respon)
yang diinginkan terjadi, diperlukan latihan dan hadiah (reward) atau
penguatan (reinforcement). Jika hubungan antara stimulus dan respon
sudah terjadi akibat latihan dan hadiah atau penguatan, maka peristiwa belajar
sudah terjadi.
b.
Belajar
menurut aliran Kognitif
Belajar adalah “peristiwa internal,
artinya belajar baru dapat terjadi bila ada kemampuan dalam diri orang yang
belajar” (Darsono 2000: 15). Agar terjadi perubahan, harus terjadi proses
berfikir yakni proses pengolahan informasi dalam diri seseorang, yang kemudian
respon berupa tindakan. Teori belajar kognitif lebih menekankan pada cara-cara
seseorang menggunakan pikirannya untuk belajar, mengingat, dan menggunakan
pengetahuan yang telah diperoleh dan disimpan di dalam pikirannya secara
efektif.
c.
Belajar
menurut aliran Gestalt
Belajar adalah “bagaimana seseorang
memandang suatu objek (persepsi) dan kemampuan mengatur atau mengorganisir
objek yang dipersepsi (khususnya yang kompleks), sehingga menjadi suatu bentuk
bermakna atau mudah dipahami” (Darsono 2000:16). Bila orang sudah mampu
mempersepsi suatu objek (stimulus) menjadi suatu gestalt, orang itu akan
memperoleh insight (pemikiran). Kalau insight sudah terjadi,
berarti proses belajar sudah terjadi.
d.
Belajar
menurut aliran Konstruktivistik
Belajar adalah “lebih dari sekedar
mengingat” (Anni 2004:49). Teori belajar ini menyatakan bahwa guru bukanlah
orang yang mampu memberikan pengetahuan kepada siswa, tetapi siswa yang harus
mengkonstruksikan pengetahuan di dalam memorinya sendiri. Hal ini memberikan
implikasi bahwa siswa harus terlibat secara aktif dalam kegiatan pembelajaran.
Berdasarkan definisi-definisi yang
dikemukakan di atas, menurut Purwanto (2003:85) dapat dikemukakan adanya
beberapa elemen yang penting yang mencirikan pengertian belajar yaitu :
1)
Belajar
merupakan suatu perubahan dalam tingkah laku, di mana perubahan itu dapat
mengarah kepada tingkah laku yang baik, tetapi juga ada kemungkinan kepada
tingkah laku yang lebih buruk.
2)
Belajar
merupakan suatu perubahan yang terjadi melalui latihan dan pengalaman dalam
arti perubahan-perubahan yang disebabkan oleh pertumbuhan atau kematangan tidak
dianggap sebagai hasil belajar seperti perubahan-perubahan yang terjadi pada
diri seorang bayi.
3)
Untuk
dapat disebut belajar, maka perubahan itu harus relatif mantap, harus merupakan
akhir daripada suatu periode waktu yang cukup panjang.
4)
Tingkah
laku yang mengalami perubahan karena belajar menyangkut aspek kepribadian baik
fisik maupun psikis seperti perubahan dalam pengertian, pemecahan suatu
masalah/ berfikir, ketrampilan, kecakapan, kebiasaan ataupun sikap.
Berdasarkan definisi di atas dapat
disimpulkan bahwa belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan individu
untuk mengadakan perubahan dalam dirinya secara keseluruhan baik berupa
pengalaman, keterampilan, sikap dan tingkah laku sebagai akibat dari latihan
serta interaksi dengan lingkungannya.
2.3.2. Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan
Secara
historis, epistimologis dan pedagogis, Pendidikan Kewarganegraan (PKn) di
Indonesia sebagai program kurikuler dimulai dengan terintroduksikanya mata
pelajaran Civics dalam kurikulum
Sekolah Menengah Atas tahun 1962 yang
berisikan materi tentang pemerintahan Indonesia berdasarkan Undang-Undang 1945
(Dept. P&K:1962). Pada saat itu mata pelajaran Civics atau kewargaan negara pada dasarnya memberi pengalaman
belajar yang dipilih dan digali dari disiplin ilmu sejarah, geografi, ekonomi
dan politik, pidato-pidato presiden, deklarasi hak asasi manusia dan
pengetahuan tentang Perserikatan Bangsa-Bangsa (Soemantri, 1969:7). Istilah Civics secara formal tidak dijumpai
dalam kurikulum tahun 1957 maupun dalam kurikulum tahun 1946, namun secara
materiil dalam kurikulum SMP dan SMA tahun 1957 terdapat mata pelajaran tata
negara dan tata hukum, dan dalam kurikulum tahun 1946 terdapat mata pelajaran
pengetahuan umum yang di dalamnya memasukan pengetahuan mengenai pemerntahan.
Kemudian
dalam kurikulum tahun 1968 dan 1969 istilah Civics atau pendidikan kewargaan negara digunakan
secara bertukar pakai (interchangeably)
misalnya dalam kurikulum SD 1968 digunakan istilah Pendidikan Kewargaan
negara yang dipakai sebagai nama mata
pelajaran yang di dalamnya tercakup sejarah Indonesia, geografi Indonesia dan Civics (diterjemahkan sebagai
pengetahuan kewargaan negara). Dalam kurikulum SMP 1968 digunakan istilah
pendidikan Kewargaan negara yang berisikan sejarah Indonesia dan konstitusi
termasuk UUD 1945.sedangkan dalam kurikulum SMA 1968 terdapat mata pelajaran
Keargaan negara yang beriikan materi terutama yang berkenaan dengan UUD 1945.
sementara itu dalam kurikulum SPG 1969 mata pelajaran Pendidikan Kewargaan
negara isinya terutama tentang sejarah Indonesia, kontitusi, pengetahuan
masyarakat dan hak asasi manusia. (Dept.
P&K:1968a;168b;1968c:1969).
Selanjutnya dalam kurikulum 1975 istilah Pendidikan
Kewargaan negara diubah menjadi Pendidikan Moral Pancasila (PMP) yang berisikan
materi Pancasila sebagaimana diuraikan dalam Pedoman Pengahayatan dan
Pengamalan Pancasila atau P4. perubahan ini sejalan dengan misi pendidikan yang
diamanatakan oleh TAP MPR II/MPR/1973. mata pelajaran PMP ini merupakan mata
pelajaran wajib untuk SD, SMP, SMA SPG dan ekolah kejuruan. Mata pelajaran PMP
ini teru dipertahankan baik istilah maupun isinya sampai dengan berlakunya
kurikulum 1984 yang pada dasarnya merupakan penyempurnaan dari kurikulum
1975. (berisikan sejarah Sebagaimana
lazimnya suatu bidang studi yang diajarkan di sekolah, materi keilmuan mata
pelajaran PKn mencakup dimensi pengetahuan (knowledge),
keterampilan (skill) dan nilai (value) berupa watak kewarganegaraan.
Sejalan dengan ide pokok mata pelajaran PKn yang ingin membentuk warga negara
yang ideal yaitu yang memiliki pengetahuan, keterampilan dan nilai-nilai yang
sesuai dengan konsep dan prinsip-prinsip PKn (Depdikbud:1975 a,b,c:176).
Berlakunya Undang-Undang nomor 2 tahun 1989 tentang
Sistem Pendidikan Nasional yang menggraiskan adanya muatan kurikulum Pendidikan
Pancasila dan Kewarganegaraan, sebagai bahan kajian wajib kurikulum semua
jalur, jenis dan jenjang pendidikan (Pasal39), Kurikulum pendiidkan daar dan
pendidikan menengah tahun 1994 mengakomodasikan misi baru pendidikan tersebut
dnegan memperkenalkan mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan
atau PPKn. Berbeda dengan kurikulum sebelumnya, kurikulum PPKn 1994 mengorganisasikan
materi pembelajarannya bukan atas dasar rumusan butir-butir P4, tetapi atas
daar konsep nilai yang disaripatikan dari P4 dan sumber remi lainya yang ditata
dengan menggunakan pendekatan sepiral meluas atau Spiral of concept development (Taba, 1967).
Mata pelajaran PPKn memiliki tiga misi besar yaitu :
1)
Conservation Education: yakni mengemban dan melestarikan nilai luhur Pancasila.
2)
Social and moral development: yakni mengembangkan dan mebina siswa yang sadar akan
hak dan keajibanya, taat pada peraturan hokum yang berlaku, serta berbudi
pekerti luhur.
3)
Socio civic development : yakni membina siswa agar memahami dan menyadari
hubungan antar sesama anggota keluarga, sekolah dan masyarakat, serta dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara
Sejalan dengan adanya perubahan makro konstitusional
kehidupan bermasyarakat, berbaga dan bernegara Indonesia sesuai dengan UUD
1945, telah diundangkan Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas
menggantikan Undang-Undang RI No. 2 Tahun 1989 tentang Sisdiknas. PPKn diubah
lagi namanya menjadi Pendidikan Kewarganegaran (PKn). Pendidikan
kewarganegaraan di dalam UU Sisdiknas No. 2 Tahun 2003 tersebut ditegaskan
bahwa materi kajian PKn wajib dimuat baik dalam kurikulum pendididkan tinggi
(Pasal 37). Pendidikan Kewarganegaraan merupakan mata pelajaran yang
memfokuskan pada pembentukan warganegara yang memahami dan mampu melaksanakan
hak-hak dan kewajibanya untuk menjadi arganegara Indoneisa yang cerdas,
terampil, dan berkarakter yang diamanatkan oleh Pancasila dan UUD 1945 (BNSP.
2006).
Selanjutnya yang dimaksud dengan Pendidikan Kewarganrgaraan (PKn) menurut
pasal 39 Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Sistem Pendidikan Nasional
dalam Cholisin ( 2001 : 1 ) bahwa “ Pendidikan Kewarganegaraan merupakan mata
pelajaran yang memberikan pengetahuan dan kemampuan dasar hubungan warga negara
dengan pemerintah agar menjadi warga negara yang dapat diandalkan oleh bangsa
dan negara “.
Pendapat yang hampir senada juga disampaikan oleh S. Sumarsono ( 2002 : 6
) bahwa yang dimaksud dengan Pendidikan Kewarganegaraan adalah “ usaha untuk
membekali peserta didik dengan kemampuan dasar berkenaan dengan hubungan antara
warga negara dengan negara serta pendidikan pendahuluan bela negara, agar
menjadi warga negara yang dapat diandalkan oleh bangsa dan Negara Kesatuan
Republik Indonesia “.
Pengertian senada dikemukakan oleh CICED ( Centre For Indonesian Civic Education ) dalam Cholisin ( 2001 : 1
), bahwa yang dimaksud dengan Pendidikan Kewarganegaraan adalah “ Pendidikan
Kewarganegaraan merupakan proses tranformasi yang membantu membangun masyarakat
yang heterogen menjadi kesatuan masyarakat Indonesia, mengembangkan warga
negara Indonesia yang memiliki pengetahuan dan kepercayaan terhadap Tuhan,
memiliki kesadaran terhadap hak dan kewajiban, baik kesadaran hukum, memiliki
sensitivitas politik, berpartisipasi politik dan masyarakat madani (civil society)“
Sebagaimana lazimnya suatu bidang studi yang diajarkan di sekolah, materi
keilmuan mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan mencakup dimensi pengetahuan(knowledge ), keterampilan ( skill ), dan nilai ( values ). Hal ini sesuai dengan ide
pokok mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan yang ingin membentuk warga
negara yang memiliki keimanan dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa,
pengetahuan, keterampilan dan nilai-nilai yang sesuai dengan konsep-konsep dan
prinsip kewarganegaraan. Pada gilirannya, warga negara yang baik tersebut
diharapkan dapat membantu terwujudnya masyarakat yang demokratis dan
konstitusional.
Post a Comment for "Pengertian Belajar"