Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Pengertian Adat

2.1.1.      Pengertian Adat
Kata adat berasal dari bahasa arab yang mempunyai arti yaitu kebiasaan, dan di Indonesia kita jumpai bermacam-macam istilah adat diantaranya adalah:
a.       Di Gayo (Aceh), istilah adat disebut Odot
b.      Di Jawa, istilah adat disebut Ngadat
c.       Di Lampung, istilah adat disebut Hadat
d.      Di Bugis, istilah adat disebut Ade
Berdasarkan kesemua istilah di atas menunjukan apa yang disebut adat itu selain berbeda juga nama dan istilahnya, namun kesemua itu mengandung pengertian bahwa adat adalah kebiasaaan yang berlaku dan dianut oleh suatu masyarakat disuatu tempat. Selain itu pengertian “Adat adalah tatanan kesusilaan dalam masyarakat, yaitu bahwa kaidah-kaidah adat itu berupa kaidah-kaidah kesusilaan yang kebenarannya telah mendapat pengakuan umum dalam masyarakat itu”. Hazairin, (2007:12).
Dalam bukunya sosiologi menjelaskan arti “Adat ialah tata kelakuan yang kekal sertakuat integrasinyadengan pola-pola prilaku masyarakat. ada sanksi penderitaan apabila dilanggar”. Soerjono Soekanto, (2009:183).
“Pengertian adat juga tercantum dalam buku pengantar hukum adat Indonesia, menyatakan bahwa adat adalah segala bentuk kesusilaaan disemua lapangan hidup bersama orang Indonesia yang menjadi tingkah laku sehari-hari antara suku satu sama lain”. Van Dijk (2002:13).
Berdasarkan  semua pendapat di atas, adat adalah suatu aturan tidak tertulis mempunyai kebiasaan, yang diturunkan dari nenek moyang, yang sudah ditetapkan dan berlaku dalam masyarakat. Sehingga, dalam lapisan masyarakat tidak terjadi perbedaaan pendapat dalam menyangkut sistem adat yang sudah berlaku pada adat tertentu. Senantiasa ditaati dan dihormati oleh rakyat karena mempunyai akibat hukum (sanksi).

2.1.2.      Teori Tentang Adat
Menurut Prof. Dr. Supomo, S.H dalam Yessysca (2011:1), “Pengertian hukum adat sebagai hukum yang tidak tertulis di dalam peraturan-peraturan legislatif (unstatutory law) meliputi peraturan-peraturan hidup yang meskipun tidak ditetapkan oleh yang berwajib, toh ditaati dan didukung oleh rakyat berdasarkan atas keyakinan bahwasanya peraturan-peraturan tersebut mempunyai kekuatan”.
Soerjono Soekanto, (2012:78), “Adat istiadat adalah kebiasaan yang terintegrasikan dengan kuatnya dalam masyarakat”.
Pengertian lain menurut Mr. J.H.P. Bellefroit dalam Yessysca, (2011:1),  “Hukum adat adalah peraturan hidup yang meskipun tidak diundangkan oleh Penguasa tetap dihormati dan ditaati oleh rakyat dengan keyakinan bahwa peraturan-peraturan tersebut berlaku sebagai hukum”.  
Menurut Prof. Mr. Cornelis van Vollen Hoven dalam Yessysca, (2011:2), “Hukum adat adalah keseluruhan aturan tingkah laku masyarakat yang berlaku dan mempunyai sanksi dan belum dikodifikasikan”.

2.1.3.      Pengertian Perkawinan
Menurut Undang-Undang nomor 1 Tahun 1974 (pasal 1), “Perkawinan adalah membentuk keluarga. Untuk itu suami istri perlu saling membantu dan melengkapi, agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual dan material”. (Kesindo utama, 2006:67).
Pengertian lain “Perkawinan merupakan kehidupan bersama yang sifatnya abadi dan hanya dapat terputus apabila salah satu meninggal dunia (cerai mati)”. (Soerjono Soekanto, 2009:176).

Perkawinan selain itu sangat dibutuhkan oleh manusia, juga sangat dianjurkan dalam agama islam, hal ini dapat dilihat dalam Al-quran surat An-Nur ayat 32 yang artinya sebagai berikut:
“dan nikahilah (kawinilah) orang-orang yang sendiri diantara kamu dan orang-orang yang berhak (layak) dari hamba-hamba sahaya mu yang perempuan, jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah maha luas (pemberiannya) lagi aha mengetahui”(Al-quran surat An-nur ayat 32).
Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulakan bahwa perkawinan itu adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita bertujuan untuk menyatukan keluarga dari kedua belah pihak, mendapatkan keturunan dan mencapai kesejahteraan.

2.1.4.      Teori tentang perkawinan
Mendefinisikan “Perkawinan sebagai sebuah hubungan antara dua orang yang berbeda jenis kelamin dan dikenal dengan suami istri. Dalam hubungan tersebut terdapat peran serta tanggung jawab dari suami dan istri yang didalamnya terdapat unsur keintiman, pertemanan, persahabatan, kasih sayang, pemenuhan seksual, dan menjadi orang tua”. Sigelman dalam Delsa, (2012:1).

Menurut Prof. Mr. Paul Scholten (2013: 1), “Perkawinan adalah hubungan hukum antara seorang pria dan seorang wanita untuk hidup bersama dengan kekal, yang diakui oleh Negara”.

Prof. R. Wirjono Prodjodikoro, S.H.(2013: 1), “Pengertian Perkawinan adalah suatu hidup bersama dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, yang memenuhi syarat-syarat yang termasuk dalam peraturan hukum perkawinan”.

Menurut Soetojo Prawirihamidjojo (2013: 1), “Perkawinan merupakan persekutuan hidup antara seorang pria dan seorang wanita yang dikukuhkan secara formal dengan undang-undang (yuridis) dan kebanyakan relegius.Sedangkan menurut Subekti, perkawinan adalah pertalian yang sah antara seorang laki2 dan seorang perempuan untuk waktu yang lama”.

2.1.5.      Adat Perkawinan Lampung Pepadun
Tata cara upacara perkawinan pada masyarakat Lampung Pepadun pada umumnya berdasarkan perkawinan jujur atau melamar, dengan menurut gadis keturunan bapak, yaitu ditandai dengan adanya pemberian sejumlah uang kepada pihak perempuan untuk menyiapkan Sesan, yaitu berupa alat-alat keperluan rumah tangga. Sesan tersebut akan diserahkan kepada pihak keluarga mempelai laki-laki pada upacara perkawinan berlangsung yang sekaligus sebagai penyerahan (secara adat) mempelai wanita kepada keluarga atau calon mempelai laki-laki.

Secara hukum adat, maka putus pula hubungan keluarga antara mempelai wanita dengan orang tuanya. Upacara perkawinan tersebut dalam pelaksanaannya dapat dengan cara adat Hibal Serbo, Bumbang Aji, Ittar Padang, Ittar Manom (cakak manuk)  dan Sebambangan. Terjadi perkawinan menurut adat suku lampung pepadun melalui dua cara, yaitu Rasan Sanak dan Rasan Tuho.
1.      Rasan Sanak
Perkawinan menurut Rasan Sanak ini atas kehendak kedua muda-mudi (mulei-menganai) dengan cara berlarian (sebambangan) dimana si gadis dibawa oleh pihak bujang kekepala adatnya, kemudian diselesaikan dengan perundingan damai di antara kedua belah pihak. Perbuatan mereka dini disebut “Mulei Ngelakei”. Apabila gadis yang pergi berlarian atas kehendak sendiri maka disebut “Cakak Lakai/Nakat”. Dalam acara berlarian ini terjadi perbuatan melarikan dan untuk si gadis dipaksa lari bukan atas persetujuannya. Perbuatan ini disebut ‘Tunggang” atau Ditengkep”.
Perbuatan tersebut merupakan pelanggaran adat mudamudi dan dapat berakibat dikenakan hukum secara adat atau denda. Tetapi pada umumny dapat diselesaikan dengan cara damai oleh para punyimbang kedua belah pihak.
Tata cara adat berlarian sampai penyelesaiannya adalah sebagai berikut :
a.    Tengepik
Tengepik artinnya peninggalan, yaitu benda sebagai tanda pemberitahuan kepergian si gadis. Seorang gadis yang melakukan berlarian, biasanya meninggalkan tanda Tangepik, yaitu berupa surat dan jumlah uang. Setelah si gadis sampai ditempat keluarga pemuda, maka orang tua atau keluarga bujang segera melaporkan pada punyimbangnya. Penyimbang segera mengadakan musyawarah menyanak untuk menunjuk utusan yang akan menyampaikan keslahan kepada keluarga gadis yang disebut “Ngattak Pengunduran Senjato” atau “Ngattak Salah”.
b.      Ngattak Pengunduran Senjato atau Ngattak Salah
Pengunduran Senjato atau Tali Pengundur atau juga disebut Pengattak Salah adalah tindakan yang dilakukan pihak kerabat bujang yang melarikan gadis dengan mengirim utusan yang membawa sejata (keris) adat dan menyampaikan kepada kepala adat pihak gadis. Ngattak pengunduran senjato ini harus dilakukan dalam waktu 1x24 jam (bila jarak dekat) dan 3x24 jam dalam jarak jauh atau di luar kota. Pengunduran Senjatoharus diterima oleh kepala adat gadis dan segera memberitahukan keluarga gadis serta menyanak wareinya, bahwa anak gadis mereka berada ditangan kepala adat pihak bujang. Senjata punduk atau keris dtinggalkan ditempat keluarga gadis dan senjata ini akan dikembalikan apabila terdapat kesepakatan antara kedua belah pihak.
c.       Bepadu atau Bebalah
Biasanya setelah pengunduran senjato disampaikan beberapa orang punyimbang dan kerabat dari pihak bujang datang kepada pihak keluarga gadis atau punyimbangnya dengan membawa bahan-bahan makanan dan minuman atau mungkin pula hewan untuk dipotong atau disembelih. Apabila didapat berita, bahwa pihak gadis bersedia menerima, pihak bujang untuk segera mengirim utusan tua-tua adat pihak bujang untuk menyatakan permintaan maaf dan memohon perundingan guna mencapai kemufakatan antara kedua belah pihak serta agar sebambangan dapat diselesaikan denga baik kearah perkawinan. Dalam perundingan itu biasanya pihak keluarga gadis mengajukan syarat-syaratpermintaan, misalnya pihak keluarga gadis meminta agar dipenuhinya jujuratau sereh pembayaran atau penurunan denda dan biaya-biaya adat lainnya.
d.   Manjau Mengiyan dan Sujut
Dari pertemuan yang diadakan kedua pihak, maka apabila tidak ada halangan akan diadakan acara Manjau Mengiyan (kunjungan menantu pria), dimana calon mempelai pria diantar oleh beberapa orang punyimbang dan beberapa orang anggota keluara lainnya untuk memperkenalkan diri kepada orang tua gadis dan punyimbangnya. Selanjutnya diadakan acara “Sujut” (sungkem), yaitu bersujut kepada semua penyimbang tua-tua adat dan kerabat gadis yang hadir. Biasanya dalam acara sujut ini dilakukan pemberanian amai-adek atau gelar oleh para ibu-ibu (bubbai) dari pihak keluarga gadis.
e.    Pengadau Rasan dan Cuak Mengan
Acara Pengadau Rasan, yaitu mengakhiri pekerjaan, melaksanakan acara akad nikah dan cuak mengan (mengundang makan bersam) dimana pada hari yang telah ditentukan dilaksanakan akad nikah kedua mempelai dan pihak keluarga bujang mengundang para penyimbang, semua menyanak warei serta para undangan lainnyabaik dari pihak keluarga bujang maupun dari pihak keluarga gadis, untuk makan bersama sebagai pemberitahuan telah terjadinya pernikahan. Pada saaat yang sama pihak keluarga gadis menyampaikan atau menyerahkan barang-barang bawaan atau sesan mempelai wanita. Namun ada kemungkinan dikarenakan adanya permintaan dari pihak gadis, maka acaranya menjadi besar, dimana mempelai wanita “dimuleikan” (digadiskan kembali), artinya diambil kembali oleh pihak orang tuanya untuk melaksanakan acara Hibal Serbo atau Bumbang Aji.

2.      Rasan Tuho
(Rasan Tuho (pekerjaan orang tua), yaitu perkawinan yang terjadi dengan cara “lamaran” atau pinangan dari pihak orang tua bujang kepada pihak orang tua gadis. Rasan Tuho ini dapat juga terjadi dikarenakan sudah ada rasan sanak, yang kemudian diselesaikan oleh para penyimbang kedua belah pihak dengan rasan tuho. Bentuk upacara perkawinan berdasarkan lamaran ini pelaksanaannyadapat secara adat, antara lain Bumbang Aji dan Hibal Serbo.


a.       Bumbang Aji
Upacara perkawinan Bumbang Aji termasuk upacara adat besar yang tidak lengka, oleh karena tidak dilaksanakan Begawei Balak atau Cakak Pepadun. Tata cara adat penyimbang menyelesaikan bentuk upacara perkawinan Bumbang Ajiini adalah sebagai berikut :
1.      Berpadu atau Bebalah
Para penyimbang disertai beberapa orang anggota kerabat dari pihak keluarga bujang datang ketempat keluarga gadis atau penyimbangnya, untuk membicarakan atau berunding dalam rangka peminangan. Apabila pihak keluarga gadis menerima pinangan dari pihak keluarga bujang, maka pembicaraan para penyimbang kedua belah pihak bekisar pada masalah persyaratan biaya adat, acara adat, penentu tempat dan waktu perkawinan serta pelaksanaan pengambilan mempelai wanita.
2.      Ngakuk Majeu
Upacara Ngakuk Majeu artinya mengambil mempelai wanita. Dalam acara ini rombongan dari pihak mempelai pria terdiri dari para penyimbang, keluarga ibu-ibu (bubbai) dan bujang-gadis (mulei-menganai) datang ketempat kediaman pihak mempelai wanita dengan membawa biaya adat yang berisi atau adat, sereb, beberapa nampan yang berisi kue-kue, beberapa nampan yang berisi rokok, tembakau, sirih pinang, gambir, dan sebagainya. Mempelai pria juga turut dalam rombongan ini dengan berpakaian adat, tetapi tidak langsung kerumah mempelai wanita, melainkan ditempatkan dirumah penyimbang yang telah ditunjuk oleh perwatin adat pihak mempelai wanita. Rombongan perwatin adat mempelai pria diterima oleh perwatin adat pihak mempelai wanita dirumahnya. Kemudian perwatin adat pihak mempelai pria mengemukakan maksud dan tujuan kedatangan mereka dengan menyerahkan barang bawaan yang diterima oleh perwatin adat dari pihak mempelai wanita. Penglaku pihak mempelai wanita menerima penyerahan barang-barang bawaan, lalu menyerahkan mempelai wanita.
3.      Menyambut Majeu
Kedatangan kembali rombongan mempelai ditempat pria disambut pula dengan upacara adat. Setelah kedua mempelai mencuci atau mencelupkan kakinya kedalam baskom air yang telah disediakan lalu keduanya masuk kedalam rumah untuk duduk “Tindih Sila” dan “DIipusek” atau disuap nasi dalam lauk pauknya oleh kaum ibu dari pihak warei, adik warei, dan lebu kelamo. Selesai acara musek ini, dilanjutkan dengan menerima inai-adek atau gelar yang diumumkan oleh kaum ibu, kemudian kedua mempelai diakad nikahkan.
4.      Sujut Mengiyan
Beberapa hari setelah akad nikah dilaksanakan acara sujut mengiyan (sungkem menantu pria) ketempat pihak wanita. Dalam acara ini mempelai pria diantar oleh rombongan tua-tua adat pihak wanita. Pada acara ini mempelai pria diberikan amai-adek yaitu panggilandua gelar dari kerabat wanita.

b.      Hibal Serbo
Hibal atau Ibal artinya “pengambilan”. Serbo artinya jenis tertentu yang dimaksud adalah cara pengambilan gadis menurut cara-cara adat dengan perundingan antara perwatin adat kedua belah pihak berdasarkan syrat-syarat dan ketentuan yang berlaku. Tata cara adat penyimbang menyelesaikan dalam bentuk upacara perkawinan Hibal Serbo ini adalah sebagai berikut :
1.      Kuwari Nunang
Upacara adat perkawinan hibal serbo, biasanya dimulai dengan acara “Kuari” (perundingan) dan “Nunang” (bertunangan). Acara hibal serbo yang sempurna biasanya dimulai dari acara mengikat tali pertunangan antara kedua calon mempelai, yang dilakukan oleh keluarga terdekat kedua belah pihak. Untuk itu yang mula-mula dilakukan adalah mengirim utusan kepihak gadis. Para utusan ini membawa bahan-bahan makanan, minuman, kue-kue dan hewan untuk disembelih. Apabila dalam pertemuan terbatas ini dicapai kata sepakat antara kedua belah pihak, maka pihak keluarga pria “ngejuk pemandai” (memberitahukan) kepada para penyimbang untuk menyampaikan niat dan maksudnya, serta menyarankan pelaksanaan upacarr kuari (perundingan secara resmi). Pada hari yang telah dientukan, para penyimbang dari pihak pria datang menuju ketempat keluarga wanita atau penyimbangnya membawa segeh penganten, yaitu sirih pinang, gambir, rokok, tembakau, beberapa nampan berisi dodol, beberapa nampa berisi kue-kue, seserahan uang jujur, biaya upacara, tempat dan waktu pelaksanaan. Selanjutnya penyimbang kedua belah pihak masing-masing mengadakan pertemuan atau musyawarah untuk mengatur persiapan-persiapan, pihak keluarga pria menyiapkan semua alat-alat perlengkapan adat dan upacara untuk Ngakuk Majeu (mengambil mempelai wanita), sedamgkan di pihak mempelai wanita, para penyimbang mempersiapkan untuk menerima mempelai pria dan rombongannya serta mempersiapkan barang-barang bawaan atau sesan. Pada har I yang telah ditentukan rombongan anak-anak pihak dari pihak wanita yang diatur dari sesat dan dipimpin oleh penyimbang adat masing-masing. Pertemuan kedua rombongan ini diawali dengan dialog tanya jawab tentang maksud dan tujuan kedtangan mereka. Bahasa yang digunakan adalah bahasa adat yang tersusun rapi serta sopan yang kadang diseligi dengan beberapa sindiran. Setelah terdapat kata sepakat, jadi jalur bicara dari penyimbang pria secara simbolis memotong “appeng” (rintangan) dengan menggunakan puguk atau keris. Kemudian kedua rombongan bergabung menuju sesat (balai adat). Puncak acara ditempat mempelai wanita adalah acara “temu” di atas lunjuk atau patcjah aji oleh para “Tualo Anow” (istri para penyimbang) yang hadir dan ditunjuk oleh para penyimbang serta dirangkaikan dengan acara “musek”, yaitu menyuapi kedua mempelai. Kemudian dilanjutkan dengan mengumumkan pemberian gelar “amai-adek” atau gelar yang dilakukan oleh penglaku. Setelah itu dilakuakn acara “pengadau mulei”, yaitu penyampaian kata perpisahan pihak mempelai wanita terhadap orang tuanya, keluarga, lebu, para penyimbang, para penglaku dan handai tolan yang hadir. Acara terakhir adalah acara “ngebekas”, dimana orang tua atau ketua perwatin adat dari pihak mempelai wanita, menyrahkan mempelai wanita kepada keta perwatin adat pihak pria. Secara simbolis serah terima ditandai dengan menyerahkan barang-barang bawaan atau sesan mempelai wanita. Acara penyambutan ditempat mempelai pria dilakukan pula upacara kebesaran adat, yaitu acara musek, dilanjutkan acara kuruk turun mandi dan cakak pepadun. Malam hariya dilakukan acara “cangget” (tari-menari adat) dan “ngedio” (seni suara klasik lampung) serta sekaligus mengumumkan atau mencanangkan “inai adek” atau gelar oleh penglaku bertempat di atas lunjuk atau patcah aji. Setelah rangkaian upacara selesai kedua suami-istri telah terikat adat, karena sudah berumah tangga. Sehingga harus mengikuti tanggung jawab dan hak mereka, termasuk tempat tinggalnya dan mempelai wanita bertempat tinggal dikediaman mempelai pria sebagai panutan kerabatnya.


Post a Comment for "Pengertian Adat"