Faktor Kerjasama
Faktor Kerjasama
Kerjasama timbul karena orientasi orang perorangan terhadap kelompoknya
(yaitu in-groupnya) dan kelompok lainnya (yang merupakan out-groupnya).
Kerjasama mungkin akan bertambah kuat apabila ada bahaya mengancam atau ada
tindakan-tindakan luar yang menyinggung kesetiaan yang secara tradisional atau
institutional telah tertanam di dalam kelompok, dalam diri seorang atau
segolongan orang.
Betapa pentingya fungsi kerjasama, di gambarkan oleh Charles H. Cooley di
kutip Soerjono soekanto (2008: 238 sebagai berikut:
“kerjasama
timbul apabila orang menyadari bahwa mereka mempunyai kepentingan-kepentingan
yang sama dan pada saat yang bersamaan mempunyai cukup pengetahuan dan
penegndalian terhadap diri sendiri untuk memenuhi kepentingan-kepentingan yang
sama dan adanya organisasi merupakan fakta-fakta penting dalam kerjasama yang
berguna”.
Di kalangan masyarakat Indonesia dikenal bentuk kerjasama tradisional
dengan nama gotong royong. Di dalam sistem pendidikan Indonesia yang
tradisional, umpamanya sejak kecil tidak ditanamkan ke dalam jiwa seseorang
suatu pola perilaku agar dia selalu hidup rukun, terutama dengan keluarga dan
lebih luas lagi dengan orang lain di dalam masyarakat.
Hal mana disebabkan adanya suatu pandangan hidup bahwa seseorang tidak
mungkin hidup sendiri tanpa kerjasama dengan orang lain. Pandangan hidup
demikian di tingkatkan dalam taraf kemasyarakatan, sehingga gotong royong
sering kali di terapkan untuk menyelenggarakan suatu kepentingan.
Dalam teori-teori sosiologi di jumpai beberapa bentuk kerjasama yang
biasa di beri nama (cooperation). Kerjasama di bedakan:
1.
Kerjasama
spontan (spontaneous cooperation). Adalah kerjasama yang serta merta.
2.
Kerjasama
langsung (directed cooperation) yaitu merupakan hasil dari perintah
atasan atau penguasa
3.
Kerjasama
kontrak (contractual cooperation) yaitu merupakan kerjasama atas dasar
tertentu
4.
Kerjasama
tradisioanl (traditional cooperation) yaitu merupakan bentuk kerja sama
sebagai bagian atau unsure dari system social.
Biasanya dalam konteks sehari-hari, di bedakan antara gotong-royong
dengan tolong menolong. Yang pertama di gambarkan dengan istilah “gugur gunung”
(bahasa jawa) dan yang kedua adalah “sambat sinambat”. (Soerjono Soekanto 2008:72)
Keduanya merupakan unsur-unsur kerukunan, terlepas dari apakah terdapat
akibat-akibat positif atau negatif, kerjasama sebagai salah satu bentuk
interaksi social merupakan gejala universal yang ada pada masyarakat di mana
pun juga. Walaupun secara tidak sadar kerjasama tadi mungkin timbul terutama di
dalam keadaan-keadaan di mana kelompok tersebut mengalami ancaman dari luar.
Pada masyarakat Indonesia,
terdapat bentuk kerjasama yang dikenal dengan nama “gotong royong”. Mengenai
hal ini, Koentjaraningrat membedakan antara gotong royong tolong menolong dan
gotong royong kerja bakti. Selanjutnya, dikatakan bahwa kecuali dalam sambatan
dalam bentuk produksi pertanian, aktivitas tolong menolong juga tampak dalam
aktivet kehidupan masyarakat yang lain ialah:
1. Aktivitas tolong menolong antara tetangga yang tinggal
berdekatan untuk pekerjaan-pekerjaan kecil sekitar rumah dan pekarangan,
seperti menggali sumur, mengganti dinding bilik rumah, membersihkan rumah dan
atap rumah dari hama tikus dan sebagainya.
2. Aktivitas tolong menolong antara kaum kerabat (dan
kadang-kadang beberapa tetangga yang paling dekat) untuk menyelenggarakan pesta sunat,
perkawinan atau upacara adat lain sekitar titik-titik peralihan pada lingkaran
hidup individu (hamil tujuh bulan, kelahiran, melepas tali pusat, kontak
pertama dari bayi dengan tanah, pemberian nama, pemotongan rambut untuk pertama
kali, pengasahan gigi, dan sebagainya.
3. Aktivitas spontan tanpa permintaan dan tanpa pamrih untuk
membantu secara spontan pada waktu seseorang penduduk desa mengalami kematian
atau bencana.
Mengenai
gotong royong kerja bakti sebaiknya kita bedakan antara (1) kerja bakti untuk
proyek proyek yang timbul dari inisiatif atau swadaya para warga komuniti
sendiri, dan (2) kerja bakti untuk proyek-proyek yang di paksakan dari atas.
Kita dapat membayangkan bagaimana proyek-proyek semacam yang pertama, yang
misalnya berasal dari keputusan rapat desa sendiri dan dirasakan benar-benar
sebagai proyek yang berguna, dikerjakan berasama dengan aman, rela danpenuh
semangat, sedangkan sebaliknya proyek macam kedua, yang seringkali tidak
difahami gunanya oleh warga desa, dirasakan saja sebagai kewajiban rutin yang
memang tidak dapat dihindari kecuali dengan cara mewakilkan giliran kepada
orang lain dengan bayaran. (Soleman B. Taneko 1993:116)
Soekanto dan
Soerjono Soekanto menyatakan bahwa “gotong royong apabila dikutip rumusan dari
bahan simposium Pembinaan Gotong Royong dalam rangka Pembangunan Desa (18-19
Januari 1978), diartikan sebagai bentuk kerja sama yang spontan yang sudah
terlembagakan yang mengandung unsur timbal-balik yang sukarela antara warga
desa dan antara warga desa dengan kepala/Pemerintahan desa serta Musyawarah
desa, yang insidentil maupun yang kontinue dalam rangka meningkatkan
kesejahteraan bersama, baik material maupun spiritual.
Di dalam
bahsa Jawa kegiatan pertama digambarkan dengan istilah “gugur gunung”,
sedangkan kegiatan kedua disebut juga “sambat-sinambat”. Apabila teori Durkheim
diterapkan di sini, maka gugur gunugn merupakan solidaritas mekanis, sedangkan
sambat sinambat merupakan solidaritas organis.
Apabila
pendekatan menurut hukum adat tersebut di atas diterapkan terhadap perumusan
yang di uraikan di atas, maka terlihat pula adanya beberapa inkonsistensi.
Gotong-royong, yang merupakan gugur-gunung, ditafsirkan genusnya; padahal,
gotong-royong merupakan species (demikian pula sambat-sinambat atau tolong
menolong). Genusnya secara tradisioanal adalah apa yang dinamakan kerukunan.
Kerukunan
sebagai genus dan masing-masing, gotong-royong dan tolong menolong sebagai
species, merupakan suatu bentukl dari proses interaksi sosial yang tradisional
sifatnya.
Aktivitas
yang mempunyai sifat tolong menolong atau sifat kerjasama, rupanya dianggap
suatu aktivitas yang mempunyai nilai yang tinggi dalam masyarakat Gayo pada
masa yang lalu.adapun yang di maksud masa lalu, ialah ketika masyarakat Gayo
belum banyak digoncangkan oleh unsur-unsur pengaruh luar, sehingga
aturan-aturan adat masih diamalkan dengan baik, demikian M. Junus Melalatoa.
Bahwa sifat tolong menolong mempunyai nilai yang tinggi pada masa lalu itu,
antara lain dapat dilihat dalam ungkapan-ungkapan atau pepatah adat yang hidup
di dalam msyarakat. Ungkapan adat itu misalnya: Alang tulung beret babantu
(“yang perlu ditolong dan dibantu harus ditolong”).
Beluh sara
loloten, moen sar tamunen (pergi satu iringan, tinggal - tidak pergi - satu
tumpukan – satu kesatuan). Bulet sara umut, tirs sara gelas. Rempak lagu re,
susun lagu belo. Kedua ungkapan ini mengandung harapan tentang kekompakan
tertentu, misalnya anggota kerabat klen atau anggota masyarakat satu kampung.
Aktivitas-aktivitas
yang mewujudkan sifat tolong-menolong itu, dapat diamati dalam kegiatan mata
pencaharian hidup, kesenian, dalam aktivitas kelompok muda-mudi, dalam
upacara-upacara life cycle, dan lain-lain.
Maulud
Tumenggung Sis menyatakan bahwa konsep mapalus yang di artikan oleh
orang-orang Minahsa secara umum adalah suatu kerja sama denagn dasar tolong
menolong antara beberapa orang maupun kerja sama sejumlah warga suatu
masyarakat untuk kepentingan umum. Didalamnya sudah terkandung pengertian
saling tolong menolong secara timbal-balik atau gotong-royong tolong-menolong
(wedering hulpbetoon) dan gotong-royong untuk kepentingan umum (onderiling
hulpbetoon).
Kerjasama
antara dua orang untuk saling tolong menolong dan kerja sama antara puluhan
atau ratusan orang baik yang terorganisir maupun yang tidak terorganisir untuk
kepentingan umum, semuanya telah dicakup dengan istilah mapalus. Selain itu
juga sudah terkandung kerjasama yang timbul secara spontan, secara kesadaran
dan secara paksaan. Akan tetapi, kelihatannya konsep mapalus ini tekanannya
terletak pada aktivitas tolong menolong secara timbal balik pada
kegiatan-kegiatan yang bukan kepentingan umum dalam arti tertentu. (Soleman B.
Taneko.1993:120)
b. Faktor Adaptasi
Ada beberapa
pengertian tentang adaptasi menurut Moran 1982, adaptasi adalah suatu strategi
penyesuaian diri yang digunakan manusia selama hidupnya untuk merespon
perubahan-perubahan lingkungan dan sosial.
Pengertian
Adaptasi dan Kebudayaan Sebagai Sistem Adaptif
Tentang adaptasi, Hardesty (1977) mengemukakan bahwa: “Adaptation is the process through which beneficial relationships are established and maintained between an organism and its environment”.
Tentang adaptasi, Hardesty (1977) mengemukakan bahwa: “Adaptation is the process through which beneficial relationships are established and maintained between an organism and its environment”.
Selanjutnya,
para ahli ekologi budaya (cultural ecologists) Alland (1975), Harris
(1968), Moran (1982) mendefinisikan bahwa adaptasi adalah suatu strategi
penyesuaian diri yang digunakan manusia selama hidupnya untuk merespon terhadap
perubahan-perubahan lingkungan dan social.
Dalam kajian
adaptabilitas manusia terhadap lingkungan, ekosistem adalah keseluruhan situasi
di mana adaptabilitas berlangsung/terjadi. Karena populasi manusia tersebar di
berbagai belahan bumi, konteks adaptabilitasakan sangat berbeda-beda.
Suatu
populasi di suatu ekosistem tertentu menyesuaikan diri terhadap kondisi
lingkungan dengan cara-cara yang spesifik. Ketika suatu populasi/masyarakat
mulai menyesuaikan diri terhadap suatu lingkungan yang baru, suatu proses
perubahan akan dimulai dan (mungkin) membutuhkan waktu yang lama untuk dapat menyesuaikan
diri (Moran 1982).
Sahlins
(1968) menekankan bahwa proses adaptasi sangatlah dinamis karena lingkungan dan
populasi manusia berubah terus menerus. Adaptasi yang dilakukan manusia
terhadap lingkungan menunjukkan adanya interrelasi antara manusia dan
lingkungan. Dalam konteks ini, pendekatan human ecology menekankan/menunjukan
adanya hubungan saling terkait (interplay) antara lingkungan fisik dan sistem-sistem
sosial/budaya.
www.google.comhttp://74.125.153.132/search?Fpsikologi_evolusioner.pdf+pengertian+adaptasi.id
di kutip pada 28 November 2009
a. Faktor Asimilasi
Asimilasi
adalah pembauran dua kebudayaan yang disertai dengan hilangnya ciri khas
kebudayaan asli sehingga membentuk kebudayaan baru. Suatu asimilasi ditandai
oleh usaha-usaha mengurangi perbedaan antara orang atau kelompok.
Untuk mengurangi perbedaan itu, asimilasi meliputi usaha-usaha mempererat
kesatuan tindakan, sikap, dan perasaan dengan memperhatikan kepentingan serta
tujuan bersama. (Sorjono Soekanto 1983:80)
Asimilasi dapat terbentuk apabila terdapat tiga syarat, yaitu:
1. terdapat
sejumlah kelompok yang memiliki kebudayaan berbeda.
2.
terjadi pergaulan antarindividu atau
kelompok secara intensif dan dalam waktu yang relatif lama.
3.
Kebudayaan masing-masing kelompok tersebut
saling berubah dan menyesuaikan diri.
Setelah ketiga
syarat tersebut terjadi, kemudian untuk ada pula faktor yang mendorong atau
mempermudah terjadinya asimilasi, faktor-faktor tersebut adalah sebagai
berikut.
1.
Toleransi di antara sesama kelompok yang berbeda
kebudayaan
2.
Kesempatan yang sama dalam bidang ekonomi
3.
Kesediaan menghormati dan menghargai orang asing
dan kebudayaan yang dibawanya.
4. Sikap
terbuka dari golongan yang berkuasa dalam masyarakat
5. Persamaan
dalam unsur-unsur kebudayaan universal
6.
Perkawinan antara kelompok yang berbeda budaya
atau perkawinan campuran (Amalgamsi)
7.
Mempunyai musuh yang sama dan meyakini kekuatan
masing-masing untuk menghadapi musuh tersebut.
Dengan faktor-faktor
yang mendorong Asimilasi tersebut, semakin tercapainya proses Integrasi pada
penduduk. Namun ada pula beberapa factor yang dapat menghalangi proses
asimilasi Faktor-faktor umum yang dapat menjadi penghalang terjadinya asimilasi
antara lain sebagai berikut.
1.
Kelompok yang terisolasi atau terasing (biasanya
kelompok minoritas)
2.
Kurangnya pengetahuan mengenai kebudayaan baru
yang dihadapi
3.
Prasangka negatif terhadap pengaruh kebudayaan
baru. Kekhawatiran ini dapat diatasi dengan meningkatkan fungsi lembaga-lembaga
kemasyarakatan
4.
Perasaan bahwa kebudayaan kelompok tertentu
lebih tinggi daripada kebudayaan kelompok lain. Kebanggaan berlebihan ini
mengakibatkan kelompok yang satu tidak mau mengakui keberadaan kebudayaan
kelompok lainnya
5.
Perbedaan ciri-ciri fisik, seperti tinggi badan,
warna kulit atau rambut
6.
Perasaan yang kuat bahwa individu terikat pada
kebudayaan kelompok yang bersangkutan
7.
Golongan minoritas mengalami gangguan dari
kelompok penguasa
(Soerjono
Soekanto 2008:85)
Hasil dari
proses asimilasi adalah semakin tipisnya batas perbedaan antarindividu dalam
suatu kelompok, atau bisa juga batas-batas antarkelompok. Yang kemudian semakin
mendukung berlanjutnya proses integrasi penduduk. Selanjutnya, individu
melakukan identifikasi diri dengan kepentingan bersama. Artinya, menyesuaikan
kemauannya dengan kemauan kelompok. Demikian pula antara kelompok yang satu
dengan kelompok yang lain.
b. Faktor Akulturasi
Akulturasi
adalah suatu proses sosial yang timbul manakala suatu kelompok manusia dengan
kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur dari suatu kebudayaan asing.
Kebudayaan asing itu lambat laun diterima dan diolah ke dalam kebudayaannya
sendiri tanpa menyebabkan hilangnya unsur kebudayaan kelompok itu sendiri
Apabila diperhatikan prosesnya akulturasi terjadi dalam dua
cara, yaitu:
a. Akulturasi damai (penetration pasifique), terjadi jika unsur-unsur kebudayaan asing dibawa secara damai tanpa paksaan dan disambut baik oleh masyarakat kebudayaan penerima.
a. Akulturasi damai (penetration pasifique), terjadi jika unsur-unsur kebudayaan asing dibawa secara damai tanpa paksaan dan disambut baik oleh masyarakat kebudayaan penerima.
b. Akulturasi
ekstrim, terjadi dengan kekerasan, perang, penaklukkan, akibatnya unsur-unsur
kebudayaan asing dari pihak yang menang dipaksakan untuk diterima di tengah-tengah
masyarakat yang dikalahkan. http://id.wikipedia.org/wiki/Akulturasi
di kutip pada tanggal 22 Desember 2009
c.
Faktor Akomodasi
Menurut
Soerjono Soekanto (2008:75) istilah akomodasi dipergunakan dalam dua arti yaitu
menunjuk pada suatu keadaan dan untuk menunjuk pada suatu proses. Akomodasi
yang menunjuk pada suatu keadaan, berarti adanya suatu keseimbangan (equilibrium)
hubungan antar individu atau kelompok. dalam interaksi antara orang-perorangan
atau kelompok manusia dalam kaitannya dengan norma-norma social dan nilai-nilai
social yang berlaku di dalam masyarakat.
Menurut Gillin dan Gillin dalam Soerjono Soekanto
(1983:76) - Akomodasi adalah suatu proses dalam hubungan-hubungan
sosial yang mengarah kepada adaptasi sehingga antar individu atau kelompok
terjadi hubungan saling menyesuaikan untuk mengatasi ketegangan-ketegangan.
Sebagai
suatu proses, akomodasi meunjuk pada usaha-usaha manusia untuk meredakan suatu
pertentangan yaitu usaha-usaha untuk mencapai kestabilan.
Akomodasi sebenranya merupakan suatu cara
untuk menyelesaikan pertentangan tanpa menghancurkan pihak lawan, sehingga
lawan tidak kehilangan kepribadiannya. Tujuan akomodasi dapat berbeda-beda
sesuai situasi yang dihadapinya, yaitu:
1.
Untuk mengurangi pertentangan antara orang perorangan
atau kelompok-kelompok manusia sebagai akibat perbedaan paham. Akomodasi disini
bertujuan untuk menghasilkan suatu sintesa antara kedua pendapat tersebut, agar
menghasilkan suatu pola yang baru.
2.
mencegah meledaknya suatu pertentangan untuk sementara
waktu atau secara temporer
3.
untuk memungkinkan terjadinya kerja sama antara
kelompok kelompok social yang hidupnya terpisah sabagai akibat factor-faktor sosial
psikologis dan kebudayaan, seperti yang di jumpai pada masyarakat yang mengenal
sistem berkasta.
Tujuan akomodasi secara Sosiologis
dari akomodasi adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengurangi konflik antar individu atau kelompok sebagai akibat
perbedaan paham. Sehingga akomodasi disini bertujuan untuk mendapatkan suatu
sintesa antara kedua kedua pendapat tersebut agar memperoleh suatu pola baru.
2. Untuk
mencegah meledaknya konflik
3. Kerjasama
antar kelompok-kelompok sosial yang saling terpisah.
4.
Mengusahakan peleburan antar kelompok-kelompok sosial yang terpisah. Seperti
dengan perkawinan campuran atau asimilasi. I
Menurut Ramlan Surbakti (1983) Pengaturan
konflik akan bisa berlangsung secara efektif apabila terdapat tiga persyaratan,
yaitu :
a. Kedua belah pihak yang berkonflik harus menyadari akan adanya situasi
konflik di antara mereka, oleh karenanya mereka harus menyadari pula perlunya
melaksanakan prinsip-prinsip keadilan secara jujur bagi semua pihak.
b. Adanya organisasi bagi kelompok yang berkonflik. Artinya, pengaturan
konflik hanya akan mungkin apabila mereka yang berkonflik masing-masing telah
terorganisir secara jelas. Kalau kekuatan-kekuatan yang berkonflik itu berada
dalam situasi tidak terorganisir (diffuse),
maka pengaturan konflik tidak akan efektif.
c. Adanya aturan permainan (rule of
the game) yang disepakati dan ditaati bersama. Apabila akomodasi dilakukan
untuk menyelesaikan konflik di masyarakat dengan memenuhi tiga hal seperti
disebutkan Ramlan Surbakti diatas., maka proses akomodasi akan berlangsung
lancar dan lebih mudah.
Jenis Konflik di Masyarakat.
Menurut Ramlan Surbakti (1992), ada dua jenis konflik di masyarakat, yaitu :
a. Konflik Horizontal,
adalah konflik anatar individu atau kelompok yang diakibatkan adanya
kemajemukan horizontal. Seperti konflik antar suku, agama, ras, daerah,
kelompok, profesi dan tempat tinggal.
b. Konflik Vertikal,
adalah konflik antar individu atau kelompok miskin dan kaya (kekayaan) dan
antara rakyat dan penguasa (kekuasaan).
Tindakan
Penyelesaian Konflik Dan Pola Penyelesaian Konflik Konflik yang dibiarkan akan
semakin melebar baik dalam wilayah maupun ketajaman konflik. Dalam arti,
konflik kecil yang dibiarkan semakin lama akan semakin besar jumlah orang atau
kelompok yang terlibat. Serta intensitas konflik juga akan semakin sengit dan
tajam. Tindakan penyelesaian terhadap adanya konflik dibedakan menjadi dua hal,
yaitu :
a. Penyelesaian Menang Kalah (win-lose solution), pola
penyelesaian ini adalah pola penyelesaian yang hanya menguntungkan satu
kelompok sedangkan kelompok yang satunya lagi dirugikan. Pola penyelesaian ini
terjadi apabila :
1. Kedua kelompok yang berkonflik sama-sama tidak mau mengurangi
tuntutannya, sedangkan kondisi kekuatan masing-masing berbeda dimana yang satu
kelompok lebih kuat sehingga menang dan kelompok satunya lagi lemah kekuatannya
sehingga kalah.
2. Salah satu dari kedua kelompok tidak mau mengurangi tuntutan,
sedangkan yang satunya bersedia mengurangi tuntutannya.
b. Penyelesaian Menang-menang (win-win solution),
pola penyelesaian ini adalah pola penyelesaian yang menguntungkan semua pihak
yang terlibat konflik. Pola semacam ini terjadi bila semua kelompok yang
berkonflik rela mengurangi tuntutannya dengan duduk satu meja mencari pemecahan
bersama secara adil. www.google.com http://dahlanforum.wordpress.com/2007/11/16/akomodasi/
di kutip pada tanggal 22 Desmber 2009
Upaya
Penyelesaian Konflik Menurut Soerjono Soekanto (1982:79), akomodasi sebagai
upaya penyelesaian konflik memiliki delapan bentuk, antara lain :
1. Coercion,
yaitu suatu bentuk akomodasi yang prosesnya dilaksanakan karena adanya paksaan.
Hal ini terjadi disebabkan salah satu pihak berada dalam keadaan yang lemah
sekali bila dibandingkan dengan pihak lawan.
2. Compromise,
yaitu suatu bentuk akomodasi dimana pihak-pihak yang terlibat masing-masing
mengurangi tuntutannya agar dicapai suatu penyelesaian terhadap suatu konflik
yang ada. Sikap untuk dapat melaksanakan compromise adalah sikap untuk bersedia
merasakan dan mengerti keadaan pihak lain.
3. Arbitration,
yaitu cara mencapai compromise dengan cara meminta bantuan pihak ketiga yang
dipilih oleh kedua belah pihak atau oleh badan yang berkedudukannya lebih dari
pihak-pihak yang bertikai.
4. Mediation,
yaitu cara menyelesaikan konflik dengan jalan meminta bantuan pihak ketiga
yang netral. Pihak ketiga ini hanyalah mengusahakan suatu penyelesaian secara
damai yang sifatnya hanya sebagai penasihat. Sehingga pihak ketiga ini tidak
mempunyai wewenang untuk memberikan keputusan-keputusan penyelesaian yang
mengikat secara formal
5. Conciliation, yaitu suatu usaha mempertemukan
keinginan-keinginan pihak-pihak yang bertikai untuk mencapai persetujuan
bersama.
6. Toleration,
sering juga dinamakan toleran-participation
yaitu suatu bentuk akomodasi tanpa adanya persetujuan formal.
7. Statlemate,
adalah suatu bentuk akomodasi dimana pihak-pihak yang bertikai atau berkonflik
karena kekuatannya seimbang kemudian berhenti pada suatu titik tertentu untuk
tidak melakukan pertentangan. Dalam istilah lain dikenal dengan “Moratorium”
yaitu kedua belah pihak berhenti untuk tidak saling melakukan pertikaian.
Namun, moratorium bisa dilakukan antara dua belah pihak yang kurang seimbang
kekuatannya.
8. Adjudication,
adalah suatu bentuk penyelesaian konflik melalui pengadilan. Kedelapan bentuk
akomodasi diatas bisa dipilih untuk dilakukan dalam menyelesaikan konflik di
masyarakat yang sangat beragam. Hal ini diperlukan agar proses konflik
khususnya yang terjadi pada masyarakat dengan tingkat kemajemukan tinggi
seperti Indonesia, tidak bisa mengarah pada situasi disintegrasi bangsa.
Post a Comment for " Faktor Kerjasama"