Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Faktor Kerjasama

Faktor Kerjasama
Kerjasama timbul karena orientasi orang perorangan terhadap kelompoknya (yaitu in-groupnya) dan kelompok lainnya (yang merupakan out-groupnya). Kerjasama mungkin akan bertambah kuat apabila ada bahaya mengancam atau ada tindakan-tindakan luar yang menyinggung kesetiaan yang secara tradisional atau institutional telah tertanam di dalam kelompok, dalam diri seorang atau segolongan orang.

Betapa pentingya fungsi kerjasama, di gambarkan oleh Charles H. Cooley di kutip Soerjono soekanto (2008: 238 sebagai berikut:
                     “kerjasama timbul apabila orang menyadari bahwa mereka mempunyai kepentingan-kepentingan yang sama dan pada saat yang bersamaan mempunyai cukup pengetahuan dan penegndalian terhadap diri sendiri untuk memenuhi kepentingan-kepentingan yang sama dan adanya organisasi merupakan fakta-fakta penting dalam kerjasama yang berguna”.

Di kalangan masyarakat Indonesia dikenal bentuk kerjasama tradisional dengan nama gotong royong. Di dalam sistem pendidikan Indonesia yang tradisional, umpamanya sejak kecil tidak ditanamkan ke dalam jiwa seseorang suatu pola perilaku agar dia selalu hidup rukun, terutama dengan keluarga dan lebih luas lagi dengan orang lain di dalam masyarakat.

Hal mana disebabkan adanya suatu pandangan hidup bahwa seseorang tidak mungkin hidup sendiri tanpa kerjasama dengan orang lain. Pandangan hidup demikian di tingkatkan dalam taraf kemasyarakatan, sehingga gotong royong sering kali di terapkan untuk menyelenggarakan suatu kepentingan.

Dalam teori-teori sosiologi di jumpai beberapa bentuk kerjasama yang biasa di beri nama (cooperation). Kerjasama di bedakan:
1.      Kerjasama spontan (spontaneous cooperation). Adalah kerjasama yang serta merta.
2.      Kerjasama langsung (directed cooperation) yaitu merupakan hasil dari perintah atasan atau penguasa
3.      Kerjasama kontrak (contractual cooperation) yaitu merupakan kerjasama atas dasar tertentu
4.      Kerjasama tradisioanl (traditional cooperation) yaitu merupakan bentuk kerja sama sebagai bagian atau unsure dari system social.

Biasanya dalam konteks sehari-hari, di bedakan antara gotong-royong dengan tolong menolong. Yang pertama di gambarkan dengan istilah “gugur gunung” (bahasa jawa) dan yang kedua adalah “sambat sinambat”. (Soerjono Soekanto 2008:72)
Keduanya merupakan unsur-unsur kerukunan, terlepas dari apakah terdapat akibat-akibat positif atau negatif, kerjasama sebagai salah satu bentuk interaksi social merupakan gejala universal yang ada pada masyarakat di mana pun juga. Walaupun secara tidak sadar kerjasama tadi mungkin timbul terutama di dalam keadaan-keadaan di mana kelompok tersebut mengalami ancaman dari luar.

Pada masyarakat Indonesia, terdapat bentuk kerjasama yang dikenal dengan nama “gotong royong”. Mengenai hal ini, Koentjaraningrat membedakan antara gotong royong tolong menolong dan gotong royong kerja bakti. Selanjutnya, dikatakan bahwa kecuali dalam sambatan dalam bentuk produksi pertanian, aktivitas tolong menolong juga tampak dalam aktivet kehidupan masyarakat yang lain ialah:
1.  Aktivitas tolong menolong antara tetangga yang tinggal berdekatan untuk pekerjaan-pekerjaan kecil sekitar rumah dan pekarangan, seperti menggali sumur, mengganti dinding bilik rumah, membersihkan rumah dan atap rumah dari hama tikus dan sebagainya.
2.  Aktivitas tolong menolong antara kaum kerabat (dan kadang-kadang beberapa tetangga yang paling dekat)  untuk menyelenggarakan pesta sunat, perkawinan atau upacara adat lain sekitar titik-titik peralihan pada lingkaran hidup individu (hamil tujuh bulan, kelahiran, melepas tali pusat, kontak pertama dari bayi dengan tanah, pemberian nama, pemotongan rambut untuk pertama kali, pengasahan gigi, dan sebagainya.
3.  Aktivitas spontan tanpa permintaan dan tanpa pamrih untuk membantu secara spontan pada waktu seseorang penduduk desa mengalami kematian atau bencana.

Mengenai gotong royong kerja bakti sebaiknya kita bedakan antara (1) kerja bakti untuk proyek proyek yang timbul dari inisiatif atau swadaya para warga komuniti sendiri, dan (2) kerja bakti untuk proyek-proyek yang di paksakan dari atas. Kita dapat membayangkan bagaimana proyek-proyek semacam yang pertama, yang misalnya berasal dari keputusan rapat desa sendiri dan dirasakan benar-benar sebagai proyek yang berguna, dikerjakan berasama dengan aman, rela danpenuh semangat, sedangkan sebaliknya proyek macam kedua, yang seringkali tidak difahami gunanya oleh warga desa, dirasakan saja sebagai kewajiban rutin yang memang tidak dapat dihindari kecuali dengan cara mewakilkan giliran kepada orang lain dengan bayaran. (Soleman B. Taneko 1993:116)                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                        

Soekanto dan Soerjono Soekanto menyatakan bahwa “gotong royong apabila dikutip rumusan dari bahan simposium Pembinaan Gotong Royong dalam rangka Pembangunan Desa (18-19 Januari 1978), diartikan sebagai bentuk kerja sama yang spontan yang sudah terlembagakan yang mengandung unsur timbal-balik yang sukarela antara warga desa dan antara warga desa dengan kepala/Pemerintahan desa serta Musyawarah desa, yang insidentil maupun yang kontinue dalam rangka meningkatkan kesejahteraan bersama, baik material maupun spiritual.

Di dalam bahsa Jawa kegiatan pertama digambarkan dengan istilah “gugur gunung”, sedangkan kegiatan kedua disebut juga “sambat-sinambat”. Apabila teori Durkheim diterapkan di sini, maka gugur gunugn merupakan solidaritas mekanis, sedangkan sambat sinambat merupakan solidaritas organis.

Apabila pendekatan menurut hukum adat tersebut di atas diterapkan terhadap perumusan yang di uraikan di atas, maka terlihat pula adanya beberapa inkonsistensi. Gotong-royong, yang merupakan gugur-gunung, ditafsirkan genusnya; padahal, gotong-royong merupakan species (demikian pula sambat-sinambat atau tolong menolong). Genusnya secara tradisioanal adalah apa yang dinamakan kerukunan.
Kerukunan sebagai genus dan masing-masing, gotong-royong dan tolong menolong sebagai species, merupakan suatu bentukl dari proses interaksi sosial yang tradisional sifatnya.

Aktivitas yang mempunyai sifat tolong menolong atau sifat kerjasama, rupanya dianggap suatu aktivitas yang mempunyai nilai yang tinggi dalam masyarakat Gayo pada masa yang lalu.adapun yang di maksud masa lalu, ialah ketika masyarakat Gayo belum banyak digoncangkan oleh unsur-unsur pengaruh luar, sehingga aturan-aturan adat masih diamalkan dengan baik, demikian M. Junus Melalatoa. Bahwa sifat tolong menolong mempunyai nilai yang tinggi pada masa lalu itu, antara lain dapat dilihat dalam ungkapan-ungkapan atau pepatah adat yang hidup di dalam msyarakat. Ungkapan adat itu misalnya: Alang tulung beret babantu (“yang perlu ditolong dan dibantu harus ditolong”).

Beluh sara loloten, moen sar tamunen (pergi satu iringan, tinggal - tidak pergi - satu tumpukan – satu kesatuan). Bulet sara umut, tirs sara gelas. Rempak lagu re, susun lagu belo. Kedua ungkapan ini mengandung harapan tentang kekompakan tertentu, misalnya anggota kerabat klen atau anggota masyarakat satu kampung.

Aktivitas-aktivitas yang mewujudkan sifat tolong-menolong itu, dapat diamati dalam kegiatan mata pencaharian hidup, kesenian, dalam aktivitas kelompok muda-mudi, dalam upacara-upacara life cycle, dan lain-lain.

Maulud Tumenggung Sis menyatakan bahwa konsep mapalus yang di artikan oleh orang-orang Minahsa secara umum adalah suatu kerja sama denagn dasar tolong menolong antara beberapa orang maupun kerja sama sejumlah warga suatu masyarakat untuk kepentingan umum. Didalamnya sudah terkandung pengertian saling tolong menolong secara timbal-balik atau gotong-royong tolong-menolong (wedering hulpbetoon) dan gotong-royong untuk kepentingan umum (onderiling hulpbetoon).

Kerjasama antara dua orang untuk saling tolong menolong dan kerja sama antara puluhan atau ratusan orang baik yang terorganisir maupun yang tidak terorganisir untuk kepentingan umum, semuanya telah dicakup dengan istilah mapalus. Selain itu juga sudah terkandung kerjasama yang timbul secara spontan, secara kesadaran dan secara paksaan. Akan tetapi, kelihatannya konsep mapalus ini tekanannya terletak pada aktivitas tolong menolong secara timbal balik pada kegiatan-kegiatan yang bukan kepentingan umum dalam arti tertentu. (Soleman B. Taneko.1993:120)

b. Faktor Adaptasi
Ada beberapa pengertian tentang adaptasi menurut Moran 1982, adaptasi adalah suatu strategi penyesuaian diri yang digunakan manusia selama hidupnya untuk merespon perubahan-perubahan lingkungan dan sosial.
Pengertian Adaptasi dan Kebudayaan Sebagai Sistem Adaptif
Tentang adaptasi, Hardesty (1977) mengemukakan bahwa: “Adaptation is the process through which beneficial relationships are established and maintained between an organism and its environment”.
Selanjutnya, para ahli ekologi budaya (cultural ecologists) Alland (1975), Harris (1968), Moran (1982) mendefinisikan bahwa adaptasi adalah suatu strategi penyesuaian diri yang digunakan manusia selama hidupnya untuk merespon terhadap perubahan-perubahan lingkungan dan social.
Dalam kajian adaptabilitas manusia terhadap lingkungan, ekosistem adalah keseluruhan situasi di mana adaptabilitas berlangsung/terjadi. Karena populasi manusia tersebar di berbagai belahan bumi, konteks adaptabilitasakan sangat berbeda-beda.
Suatu populasi di suatu ekosistem tertentu menyesuaikan diri terhadap kondisi lingkungan dengan cara-cara yang spesifik. Ketika suatu populasi/masyarakat mulai menyesuaikan diri terhadap suatu lingkungan yang baru, suatu proses perubahan akan dimulai dan (mungkin) membutuhkan waktu yang lama untuk dapat menyesuaikan diri (Moran 1982).
Sahlins (1968) menekankan bahwa proses adaptasi sangatlah dinamis karena lingkungan dan populasi manusia berubah terus menerus. Adaptasi yang dilakukan manusia terhadap lingkungan menunjukkan adanya interrelasi antara manusia dan lingkungan. Dalam konteks ini, pendekatan human ecology menekankan/menunjukan adanya hubungan saling terkait (interplay) antara lingkungan fisik dan sistem-sistem sosial/budaya.


a.   Faktor Asimilasi
Asimilasi adalah pembauran dua kebudayaan yang disertai dengan hilangnya ciri khas kebudayaan asli sehingga membentuk kebudayaan baru. Suatu asimilasi ditandai oleh usaha-usaha mengurangi perbedaan antara orang atau kelompok. Untuk mengurangi perbedaan itu, asimilasi meliputi usaha-usaha mempererat kesatuan tindakan, sikap, dan perasaan dengan memperhatikan kepentingan serta tujuan bersama. (Sorjono Soekanto 1983:80)
Asimilasi dapat terbentuk apabila terdapat tiga syarat, yaitu:
1.       terdapat sejumlah kelompok yang memiliki kebudayaan berbeda.
2.       terjadi pergaulan antarindividu atau kelompok secara intensif dan dalam waktu yang relatif lama.
3.       Kebudayaan masing-masing kelompok tersebut saling berubah dan menyesuaikan diri.
Setelah ketiga syarat tersebut terjadi, kemudian untuk ada pula faktor yang mendorong atau mempermudah terjadinya asimilasi, faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut.
1.     Toleransi di antara sesama kelompok yang berbeda kebudayaan
2.     Kesempatan yang sama dalam bidang ekonomi
3.     Kesediaan menghormati dan menghargai orang asing dan kebudayaan yang dibawanya.
4.     Sikap terbuka dari golongan yang berkuasa dalam masyarakat
5.     Persamaan dalam unsur-unsur kebudayaan universal
6.     Perkawinan antara kelompok yang berbeda budaya atau perkawinan campuran (Amalgamsi)
7.     Mempunyai musuh yang sama dan meyakini kekuatan masing-masing untuk menghadapi musuh tersebut.          
Dengan faktor-faktor yang mendorong Asimilasi tersebut, semakin tercapainya proses Integrasi pada penduduk. Namun ada pula beberapa factor yang dapat menghalangi proses asimilasi Faktor-faktor umum yang dapat menjadi penghalang terjadinya asimilasi antara lain sebagai berikut.
1.          Kelompok yang terisolasi atau terasing (biasanya kelompok minoritas)
2.          Kurangnya pengetahuan mengenai kebudayaan baru yang dihadapi
3.          Prasangka negatif terhadap pengaruh kebudayaan baru. Kekhawatiran ini dapat diatasi dengan meningkatkan fungsi lembaga-lembaga kemasyarakatan
4.          Perasaan bahwa kebudayaan kelompok tertentu lebih tinggi daripada kebudayaan kelompok lain. Kebanggaan berlebihan ini mengakibatkan kelompok yang satu tidak mau mengakui keberadaan kebudayaan kelompok lainnya
5.          Perbedaan ciri-ciri fisik, seperti tinggi badan, warna kulit atau rambut
6.          Perasaan yang kuat bahwa individu terikat pada kebudayaan kelompok yang bersangkutan
7.          Golongan minoritas mengalami gangguan dari kelompok penguasa
(Soerjono Soekanto 2008:85)
Hasil dari proses asimilasi adalah semakin tipisnya batas perbedaan antarindividu dalam suatu kelompok, atau bisa juga batas-batas antarkelompok. Yang kemudian semakin mendukung berlanjutnya proses integrasi penduduk. Selanjutnya, individu melakukan identifikasi diri dengan kepentingan bersama. Artinya, menyesuaikan kemauannya dengan kemauan kelompok. Demikian pula antara kelompok yang satu dengan kelompok yang lain.
b.    Faktor Akulturasi
Akulturasi adalah suatu proses sosial yang timbul manakala suatu kelompok manusia dengan kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur dari suatu kebudayaan asing. Kebudayaan asing itu lambat laun diterima dan diolah ke dalam kebudayaannya sendiri tanpa menyebabkan hilangnya unsur kebudayaan kelompok itu sendiri                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                              
Apabila diperhatikan prosesnya akulturasi terjadi dalam dua cara, yaitu:
a. Akulturasi damai (penetration pasifique), terjadi jika unsur-unsur kebudayaan asing dibawa secara damai tanpa paksaan dan disambut baik oleh masyarakat kebudayaan penerima.
b.      Akulturasi ekstrim, terjadi dengan kekerasan, perang, penaklukkan, akibatnya unsur-unsur kebudayaan asing dari pihak yang menang dipaksakan untuk diterima di tengah-tengah masyarakat yang dikalahkan. http://id.wikipedia.org/wiki/Akulturasi di kutip pada tanggal 22 Desember 2009


c.       Faktor Akomodasi

Menurut Soerjono Soekanto (2008:75) istilah akomodasi dipergunakan dalam dua arti yaitu menunjuk pada suatu keadaan dan untuk menunjuk pada suatu proses. Akomodasi yang menunjuk pada suatu keadaan, berarti adanya suatu keseimbangan (equilibrium) hubungan antar individu atau kelompok. dalam interaksi antara orang-perorangan atau kelompok manusia dalam kaitannya dengan norma-norma social dan nilai-nilai social yang berlaku di dalam masyarakat.

Menurut Gillin dan Gillin dalam Soerjono Soekanto (1983:76) - Akomodasi adalah suatu proses dalam hubungan-hubungan sosial yang mengarah kepada adaptasi sehingga antar individu atau kelompok terjadi hubungan saling menyesuaikan untuk mengatasi ketegangan-ketegangan.

Sebagai suatu proses, akomodasi meunjuk pada usaha-usaha manusia untuk meredakan suatu pertentangan yaitu usaha-usaha untuk mencapai kestabilan.
 Akomodasi sebenranya merupakan suatu cara untuk menyelesaikan pertentangan tanpa menghancurkan pihak lawan, sehingga lawan tidak kehilangan kepribadiannya. Tujuan akomodasi dapat berbeda-beda sesuai situasi yang dihadapinya, yaitu:

1.         Untuk mengurangi pertentangan antara orang perorangan atau kelompok-kelompok manusia sebagai akibat perbedaan paham. Akomodasi disini bertujuan untuk menghasilkan suatu sintesa antara kedua pendapat tersebut, agar menghasilkan suatu pola yang baru.
2.         mencegah meledaknya suatu pertentangan untuk sementara waktu atau secara temporer
3.         untuk memungkinkan terjadinya kerja sama antara kelompok kelompok social yang hidupnya terpisah sabagai akibat factor-faktor sosial psikologis dan kebudayaan, seperti yang di jumpai pada masyarakat yang mengenal sistem berkasta.

Tujuan akomodasi secara Sosiologis dari akomodasi adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengurangi konflik antar individu atau kelompok sebagai akibat perbedaan paham. Sehingga akomodasi disini bertujuan untuk mendapatkan suatu sintesa antara kedua kedua pendapat tersebut agar memperoleh suatu pola baru.
2. Untuk mencegah meledaknya konflik
3. Kerjasama antar kelompok-kelompok sosial yang saling terpisah.
4. Mengusahakan peleburan antar kelompok-kelompok sosial yang terpisah. Seperti dengan perkawinan campuran atau asimilasi. I
Menurut Ramlan Surbakti (1983) Pengaturan konflik akan bisa berlangsung secara efektif apabila terdapat tiga persyaratan, yaitu :
a. Kedua belah pihak yang berkonflik harus menyadari akan adanya situasi konflik di antara mereka, oleh karenanya mereka harus menyadari pula perlunya melaksanakan prinsip-prinsip keadilan secara jujur bagi semua pihak.
b. Adanya organisasi bagi kelompok yang berkonflik. Artinya, pengaturan konflik hanya akan mungkin apabila mereka yang berkonflik masing-masing telah terorganisir secara jelas. Kalau kekuatan-kekuatan yang berkonflik itu berada dalam situasi tidak terorganisir (diffuse), maka pengaturan konflik tidak akan efektif.
c. Adanya aturan permainan (rule of the game) yang disepakati dan ditaati bersama. Apabila akomodasi dilakukan untuk menyelesaikan konflik di masyarakat dengan memenuhi tiga hal seperti disebutkan Ramlan Surbakti diatas., maka proses akomodasi akan berlangsung lancar dan lebih mudah.
Jenis Konflik di Masyarakat. Menurut Ramlan Surbakti (1992), ada dua jenis konflik di masyarakat, yaitu :
a. Konflik Horizontal, adalah konflik anatar individu atau kelompok yang diakibatkan adanya kemajemukan horizontal. Seperti konflik antar suku, agama, ras, daerah, kelompok, profesi dan tempat tinggal.
b. Konflik Vertikal, adalah konflik antar individu atau kelompok miskin dan kaya (kekayaan) dan antara rakyat dan penguasa (kekuasaan).
Tindakan Penyelesaian Konflik Dan Pola Penyelesaian Konflik Konflik yang dibiarkan akan semakin melebar baik dalam wilayah maupun ketajaman konflik. Dalam arti, konflik kecil yang dibiarkan semakin lama akan semakin besar jumlah orang atau kelompok yang terlibat. Serta intensitas konflik juga akan semakin sengit dan tajam. Tindakan penyelesaian terhadap adanya konflik dibedakan menjadi dua hal, yaitu :
a. Penyelesaian Menang Kalah (win-lose solution), pola penyelesaian ini adalah pola penyelesaian yang hanya menguntungkan satu kelompok sedangkan kelompok yang satunya lagi dirugikan. Pola penyelesaian ini terjadi apabila :
1. Kedua kelompok yang berkonflik sama-sama tidak mau mengurangi tuntutannya, sedangkan kondisi kekuatan masing-masing berbeda dimana yang satu kelompok lebih kuat sehingga menang dan kelompok satunya lagi lemah kekuatannya sehingga kalah.
2. Salah satu dari kedua kelompok tidak mau mengurangi tuntutan, sedangkan yang satunya bersedia mengurangi tuntutannya.
b. Penyelesaian Menang-menang (win-win solution), pola penyelesaian ini adalah pola penyelesaian yang menguntungkan semua pihak yang terlibat konflik. Pola semacam ini terjadi bila semua kelompok yang berkonflik rela mengurangi tuntutannya dengan duduk satu meja mencari pemecahan bersama secara adil. www.google.com http://dahlanforum.wordpress.com/2007/11/16/akomodasi/ di kutip pada tanggal 22 Desmber 2009
Upaya Penyelesaian Konflik Menurut Soerjono Soekanto (1982:79), akomodasi sebagai upaya penyelesaian konflik memiliki delapan bentuk, antara lain : 
1. Coercion, yaitu suatu bentuk akomodasi yang prosesnya dilaksanakan karena adanya paksaan. Hal ini terjadi disebabkan salah satu pihak berada dalam keadaan yang lemah sekali bila dibandingkan dengan pihak lawan.
2. Compromise, yaitu suatu bentuk akomodasi dimana pihak-pihak yang terlibat masing-masing mengurangi tuntutannya agar dicapai suatu penyelesaian terhadap suatu konflik yang ada. Sikap untuk dapat melaksanakan compromise adalah sikap untuk bersedia merasakan dan mengerti keadaan pihak lain.
3. Arbitration, yaitu cara mencapai compromise dengan cara meminta bantuan pihak ketiga yang dipilih oleh kedua belah pihak atau oleh badan yang berkedudukannya lebih dari pihak-pihak yang bertikai.
4. Mediation, yaitu cara menyelesaikan konflik dengan jalan meminta bantuan pihak ketiga yang netral. Pihak ketiga ini hanyalah mengusahakan suatu penyelesaian secara damai yang sifatnya hanya sebagai penasihat. Sehingga pihak ketiga ini tidak mempunyai wewenang untuk memberikan keputusan-keputusan penyelesaian yang mengikat secara formal
5. Conciliation, yaitu suatu usaha mempertemukan keinginan-keinginan pihak-pihak yang bertikai untuk mencapai persetujuan bersama.
6. Toleration, sering juga dinamakan toleran-participation yaitu suatu bentuk akomodasi tanpa adanya persetujuan formal.
7. Statlemate, adalah suatu bentuk akomodasi dimana pihak-pihak yang bertikai atau berkonflik karena kekuatannya seimbang kemudian berhenti pada suatu titik tertentu untuk tidak melakukan pertentangan. Dalam istilah lain dikenal dengan “Moratorium” yaitu kedua belah pihak berhenti untuk tidak saling melakukan pertikaian. Namun, moratorium bisa dilakukan antara dua belah pihak yang kurang seimbang kekuatannya.

8. Adjudication, adalah suatu bentuk penyelesaian konflik melalui pengadilan. Kedelapan bentuk akomodasi diatas bisa dipilih untuk dilakukan dalam menyelesaikan konflik di masyarakat yang sangat beragam. Hal ini diperlukan agar proses konflik khususnya yang terjadi pada masyarakat dengan tingkat kemajemukan tinggi seperti Indonesia, tidak bisa mengarah pada situasi disintegrasi bangsa. 

Post a Comment for " Faktor Kerjasama"