Agresi militer I dan II
Agresi militer I dan II
"Operatie Product (bahasa Indonesia: Operasi Produk) atau yang
dikenal di Indonesia dengan nama Agresi Militer Belanda I adalah operasi
militer Belanda di Jawa dan Sumatera terhadap Republik Indonesia yang
dilaksanakan dari 21 Juli 1947 sampai 5 Agustus 1947. Operasi militer ini
merupakan bagian Aksi Polisionil yang diberlakukan Belanda dalam rangka
mempertahankan penafsiran Belanda atas Perundingan Linggarjati. Dari sudut
pandang Republik Indonesia, operasi ini dianggap merupakan pelanggaran dari
hasil Perundingan Linggajati.
Sedangkan Agresi Militer Belanda II atau Operasi Gagak adalah operasi
militer Belanda kedua yang terjadi pada 19 Desember 1948 yang diawali dengan
serangan terhadap Yogyakarta, ibu kota Indonesia saat itu, serta penangkapan
Soekarno, Mohammad Hatta, Sjahrir dan beberapa tokoh lainnya. Jatuhnya ibu kota
negara ini menyebabkan dibentuknya Pemerintahan Darurat Republik Indonesia di
Sumatera yang dipimpin oleh Sjafrudin Prawiranegara.
A.
Agresi
Militer Belanda I
Agresi militer Belanda I diawali oleh perselisihan Indonesia dan Belanda
akibat perbedaan penafsiran terhadap ketentuan hasil Perundingan Linggarjati.
Pihak Belanda cenderung menempatkan Indonesia sebagai negara persekmakmuran
dengan Belanda sebagai negara induk. Sebaliknya, pihak Indonesia tetap teguh
mempertahankan kedaulatannya, lepas dari Belanda.
Adapun tujuan Belanda mengadakan agresi
militer I yaitu sebagai berikut:
§ Tujuan politik
Mengepung ibu kota
Republik Indonesia dan menghapus kedaulatan Republik Indonesia.
§ Tujuan ekonomi
Merebut
pusat-pusat penghasil makanan dan bahan ekspor.
§ Tujuan militer
Menghancurkan
Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Sesudah penandatanganan Persetujuan Linggarjati, Belanda berusaha keras
memaksakan interpretasi mereka sendiri dan berjalan sendiri untuk membentuk
negara-negara bagian yang akan menjadi bagian dari negara Indonesia Serikat,
sesuai dengan keinginan mereka. Hal ini diawali dengan konferensi yang diselenggarakannya
di Malino, Sulawesi Selatan, dan kemudian di Denpasar, Bali. Di sana mereka
berhasil membentuk negara boneka Indonesia Timur dengan dibantu oleh
orang-orang yang pro Belanda seperti Sukawati dan Anak Agung Gde Agung. Anak
Agung Gde memang sejak awal sudah memusuhi pemuda-pemuda pro Republik di
daerahnya, serta mengejar-ngejar dan menangkapinya.
Memang tujuan utama Belanda penandatanganan Persetujuan Linggarjati ialah
menjadikan negara Republik Indonesia yang sudah mendaptkan pengakuan de facto
dan juga de jure oleh beberapa negara, kembali menjadi satu negara bagian saja
seperti juga negara-negara boneka yang didirikannya, yang akan diikutsertakan
dalam pembentukan suatu negara Indonesia Serikat. Langkah Belanda selanjutnya
ialah memajukan bermacam-macam tuntutan yang pada dasarnya hendak menghilangkan
sifat negara berdaulat Republik dan menjadikannya hanya negara bagian seperti
negara boneka yang diciptakannya di Denpasar. Yang menjadi sasaran uatamanya
ialah menghapus TNI dan perwakilan-perwakilan Republik di luar negeri, karena
keduanya merupakan atribut negara berdaulat.
Semua tuntutan Belanda ditolak. Sementara itu keadaan keuangan Belanda
sudah gawat, dan kalau masalah Indonesia tidak cepat diselesaikan maka besar
kemungkinan Belanda akan bangkrut. Agresi militer pertama dilakukan Belanda
berlatar dua pokok di atas, yaitu melenyapkan Republik Indonesia sebagai negara
merdeka dengan menghilangkan semua atribut kemerdekaannya, dan keadaan keuangan
Belanda yang sangat gawat.
Dalam serangan Belanda yang pertama itu mereka bermaksud hendak menduduki
Yogyakarta yang telah menjadi ibu kota perjuangan Republik Indonesia, dan
menduduki daerah-daerah yang penting bagi perekonomian Belanda, yaitu
daerah-daerah perkebunan, ladang minyak dan batu baik di Sumatera maupun di
Jawa. Usaha ini untuk sebagian berhasil; mereka berhasil menduduki
daerah-daerah perkebunan yang cukup luas, di Sumatera Timur, Palembang, Jawa
Barat dan Jawa Timur. Dari hasil penjualan produksi perkebunan-perkebunan yang
masih terkumpul, mereka mengharapkan mendapatkan uang sejumlah US$ 300 juta,
sedangkan biaya agresi militer diperhitungkan akan memakan US$ 200 juta, jadi
masih ada ”untung” US$ 100 juta. Sasaran yang satu lagi, yaitu menduduki
Yogyakarta tidak tercapai, karena pada tanggal 4 Agustus 1947 Dewan Keamanan
memerintahkan penghentian tembak menembak. Selanjutnya PBB membentuk Komisi PBB
yang terdiri atas tiga negara: satu dipilih oleh Indonesia, satu oleh Belanda
dan yang satu lagi dipilih bersama. Komisi Tiga Negara ini terdiri atas Amreika
Serikat, Australia dan Belgia. Sjahrir memilih Australia, dan bukan India,
karena India sudah dianggap oleh dunia sebagai pro Indonesia, sedangkan
Australia adalah negara bangsa kulit putih, yang dianggap lebih obyektif
pendiriannya dalam mendukung perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia.
Perkiraan Belanda dengan mengadakan agresi militernya yang pertama
meleset sama sekali; karena tanpa diperhitungkan sejak semula, bahwa Dewan
Keamanan PBB akan bertindak atas usul India dan Australia. India dan Australia
sangat aktif mendukung Republik di dalam PBB, di mana Uni Soviet juga memberika
dukungannta. Akan tetapi, peranan yang paling penting akhirnya dimainkan oleh
Amerika Serikat. Mereka yang menentukan kebijakan Belanda, bahkan yang lebih progresif
di antara mereka, merasa yakin bahwa sejarah dan pikiran sehat memberi mereka
hak untuk menetukan perkembangan Indonesia, tetapi hak ini hanya dapat
dijalankan dengan menghancurkan Republik terdahulu. Sekutu-sekutu utama negeri Belanda terutama Inggris,
Australia, dan Amerika (negara yang paling diandalkan Belanda untuk memberi
bantuan pembangunan kembali di masa sesudah perang) tidak mengakui hak semacam
itu kecuali jika rakyat Indonesia mengakuinya, yang jelas tidak demikian
apabila pihak Belanda harus menyandarkan diri pada penaklukan militer. Mereka
mulai mendesak negeri Belanda supaya mengambil sikap yang tidak begitu kaku,
dan PBB menjadi forum umum untuk memeriksa tindakan-tindakan Belanda.
Untuk pertama kali sejak PBB didirikan pada tahun 1945, badan ini
mengambil tindakan mengentikan penyerangan militer di dunia dan memaksa agresor
agar menghentikan serangannya. Belanda yang menginginkan supaya masalah
Indonesia dianggap sebagai suatu persoalan dalam negeri antara Belanda dan
jajahannya, telah gagal, dan masalah Indonesia-Belanda menjadi menjadi masalah
internasional. Kedudukan Republik Indonesia menjadi sejajar dengan kedudukan
negara Belanda dalam pandangan dunia umumnya.
B.
Agresi
Militer II
Seperti kejadian sebelumnya dalam Perundingan Linggarjati, pelaksanaan
hasil Perundingan Renville mengalami kemacetan. Upaya jalan keluar yang
ditawarkan oleh KTN selalu mentah kembali karena tidak adanya kesepakatan
antara Indonesia dan Belanda. Indonesia melalui Hatta (wakil presiden merangkap
perdana menteri) tetap tegas mempertahankan kedaulatan Indonesia, sementara
Belanda terus berupaya mecari cara menjatuhkan wibawa Indonesia. Saar
ketegangan semakin memuncak Indonesia dan Belanda mengirimkan nota kepada KTN.
Nota itu sama-sama berisi tuduhan terhadap pihak lawan yang tidak menghormati
hasil Perundingan Renville. Akhirnya, menjelang tengah malam pada tanggal 18
Desember 1948, Wali Tinggi Kota Mahkota Belanda Dr. Beel mengumumkan bahwa
Belanda tidak terikat lagi pada hasil Perundingan Renville. Dini hari tanggal
19 Desember 1948, pesawat terbang Belanda membombardir Maguwo (sekarang Bandara
Adisucipto) dan sejumlah bangunan penting di Yogyakarta. Peristiwa itu
mengawali agresi militer Belanda II. Pemboman dilanjutkan dengan penerjunan
pasukan udara. Dalam waktu singkat, Yogyakarta, ibu kota RI ketika itu, dapat
dikuasai.
Adapun tujuan Belanda mengadakan Agresi Militer yang kedua ialah ingin
menghancurkan kedaulatan Indonesia dan mengusai kembali wilayah Indonesia
dengan melakukan serangan militer terhadap beberapa daerah penting di
Yogyakarta sebagai ibu kota Indonesia pada saat itu. Pihak Belanda sengaja
membuat kondisi pusat wilayah Indonesia tidak aman sehingga akhirnya diharapkan
dengan kondisi seperti itu bangsa Indonesia menyerah dan bersedia menuruti
ultimatum yang diajukan oleh pihak Belanda. Selain itu bangsa Indonesia juga
ingin menunjukkan kepada dunia bahwa RI dan TNI-nya secara de facto tidak ada
lagi.
Pelaksanaan hasil Perundingan Renville mengalami kemacetan. Upaya jalan
keluar yang ditawarkan oleh KTN selalu mentah kembali karena tidak adanya
kesepakatan antara Indonesia dan Belanda. Indonesia melalui Hatta (wakil
presiden merangkap perdana menteri) tetap tegas mempertahankan kedaulatan
Indonesia, sementara Belanda terus berupaya mecari cara menjatuhkan wibawa
Indonesia. Saar ketegangan semakin memuncak Indonesia dan Belanda mengirimkan
nota kepada KTN. Nota itu sama-sama berisi tuduhan terhadap pihak lawan yang
tidak menghormati hasil Perundingan Renville. Akhirnya, menjelang tengah malam
pada tanggal 18 Desember 1948, Wali Tinggi Kota Mahkota Belanda Dr. Beel
mengumumkan bahwa Belanda tidak terikat lagi pada hasil Perundingan Renville.
Sementara itu keadaan dalam negeri sudah sangat tegang berhubung dengan oposisi
yang dilakukan oleh Front Demokrasi Rakyat (PKI dan sekutunya) terhadap politik
yang dijalankan oleh Kabinet Hatta. Oposisi ini meningkat setelah seorang tokoh
komunis kawakan, Muso, yang memimpin pemberontakan PKI tahun 1926, kembali ke
Indonesia dari Uni Soviet. Muso sejak mudanya memang selalu bersikap radikal
dan ia yang mendorong PKI untuk memberontak pada tahun 1926. Oposisi terhadap
kabinet Hatta mencapai pucaknya ketika Sumarsono, pemimpin Pesindo (Pemuda
Sosialis Indonesia) mengumumkan pembentukan pemerintahan Soviet di Madiun
tanggal 18 September 1948. Pemberontakan ini segera ditumpas pemerintah
Republik. Belanda hendak mempergunakan pemberontakan PKI itu sebagai alasan
yang sangat baik untuk menyerang Republik dengan dalih membantu Republik
melawan komunisme. Sebelum
pasukan-pasukan Republik dapat beristirahat setelah beroperasi terus-menerus
melawan PKI, Belanda menyerang lagi. Dini hari tanggal 19 Desember, pesawat
terbang Belanda memborbardir Maguwo (sekarang Bandara Adisucipto) dan sejumlah
bangunan penting di Yogyakarta. Peristiwa itu mengawali agresi militer Belanda
II. Pemboman dilanjutkan dengan penerjunan pasukan udara. Dalam waktu singkat,
Yogyakarta ibu kota RI ketika itu, dapat dikuasai. Dalam suasana genting, pemerintah RI mengadakan rapat kilat dan
menghasilkan keputusan darurat berikut.
§ Melalui
radiogram, pemerintah RI memberikan mandat kepada Syafruddin Prawiranegara
untuk membentuk Pemerintah Darurat RI (PDRI) di Sumatera.
§ Presiden
dan wakil presiden RI tetap tinggal dalam kota dengan resiko ditangkap Belanda,
agar dekat dengan KTN.
§ Pimpinan
TNI menyingkir keluar kota dan melancarkan perang gerilya dengan membentuk
wilayah pertahanan (sistem wehkreise) di Jawa dan Sumatera.
Setelah menguasai Yogyakarta, pasukan Belanda menawan presiden, dan sejumlah
pejabat. Soekarno diasingkan ke Prapat, Hatta ke Bangka, tetapi kemudian
Soekarno dipindahkan ke Bangka. Sementara itu, Jenderal Soedirman memimpin TNI
melancarkan perang gerilya di kawasan luar kota.
2.1.6
Nilai-nilai Budaya Bangsa
Masyarakat terbentuk melalui sejarah yang panjang,
perjalanan berliku, tapak demi tapak, trial and error. Pada titik-titik
tertentu terdapat peninggalan-peninggalan yang eksis atau terekan sampai
sekarang yang kemudian menjadi warisan budaya. Warisan budaya, menurut Davidson
(1991:2) diartikan sebagai ‘produk atau hasil budaya fisik dari tradisi-tradisi
yang berbeda dan prestasi-prestasi spiritual dalam bentuk nilai dari masa lalu
yang menjadi elemen pokok dalam jati diri suatu kelompok atau bangsa’. Jadi
warisan budaya merupakan hasil budaya fisik (tangible) dan nilai budaya
(intangible) dari masa lalu.
Nilai budaya dari masa lalu (intangible heritage)
inilah yang berasal dari budaya-budaya lokal yang ada di Nusantara, meliputi:
tradisi, cerita rakyat dan legenda, bahasa ibu, sejarah lisan, kreativitas (tari, lagu,
drama pertunjukan), kemampuan beradaptasi dan keunikan masyarakat setempat
(Galla, 2001: 12) Kata lokal disini tidak mengacu pada wilayah geografis,
khususnya kabupaten/kota, dengan batas-batas administratif yang jelas, tetapi
lebih mengacu pada wilayah budaya yang seringkali melebihi wilayah
administratif dan juga tidak mempunyai garis perbatasan yang tegas dengan
wilayah budaya lainnya.
Kata budaya lokal juga bisa mengacupada budaya
milik penduduk asli (inlander) yang telah dipandang sebagai warisan budaya.
Berhubung pelaku pemerintahan Republik Indonesia adalah bangsa sendiri, maka
warisan budaya yang ada menjadi milik bersama. Ini berbeda situasinya dengan
Negara Australia dan Amerika yang warisan budayanya menjadi milik penduduk
asli secara eksklusif sehingga penduduk
asli mempunyai hak untuk melarang setiap kegiatan pemanfaatan yang akan
berdampak buruk pada warisan budaya mereka (Frankel, 1984)
Beragam wujud warisan budaya lokal memberi kita
kesempatan untuk mempelajari kearifan lokal dalam mengatasi masalah-masalah
yangdihadapi di masa lalu. Masalahnya kearifan local tersebut seringkali
diabaikan, dianggap tidak ada relevansinya dengan masa sekarang apalagi masa
depan. Dampaknya adalah banyak warisan budaya
yang lapuk dimakan usia, terlantar, terabaikan bahkan dilecehkan keberadaannya.
Padahal banyak bangsa yang kurang kuat sejarahnya justru mencari-cari
jatidirinya dari tinggalan sejarah dan warisan budayanya yang sedikit
jumlahnya. Kita sendiri, bangsa Indonesia, yang kaya dengan warisan budaya
justru mengabaikan asset yang tidak
ternilai tersebut. Sungguh kondisi yang kontradiktif.
Pelestarian budaya lokal juga mempunyai muatan
ideologis yaitu sebagai gerakan untuk mengukuhkan kebudayaan, sejarah dan
identitas (Lewis, 1983: 4), dan juga sebagai penumbuh kepedulian masyarakat
untuk mendorong munculnya rasa memiliki masa lalu yang sama diantara anggota
komunitas (Smith, 1996: 68).
Menurut
Koentjaraningrat (1974 :19) konsep sistem nilai budaya merupakan suatu
rangkaian dari konsepsi- konsepsi abstrak yang hidup dalam alam pemikiran
sebagian besar warga suatu masyarakat, mengenai apa yang harus dianggap remeh
dan tidak berharga dalam hidup. Dengan
demikian sistem nilai budaya ini selain berfungsi sebagai suatu pedoman
sekaligus pendorong kelakuan atau tindakan masyarakat dalam hidup. Dengan perkataan lain, ia juga sebagai sistem
tata kelakuan tertinggi.
Berdasarkan
pendapat diatas dengan melihat kedudukan sistem nilai budaya sebagai pedoman
kelakuan dan tata kelakuan ini
seolah-olah sama dengan hukum, keduanya berada diluar dan diatas individu. Biasanya sistem telah mendarah daging dalam
mentaluitas suatu masyarakat sehingga untuk merubah, atau menggantinya dengan
yang lain cukup sulit dan butuh proses dalam waktu yang lama.
Sistem nilai
budaya ini merupakan sistem tata kelakuan yang abstrak. Untuk pedoman kehidupan masyarakat yang
bersifat kompleks ini, tata kelakuan tersebut diperinci kedalam bentuk yang
lebih nyata yaitu norma, Sehingga ia merupakan pedoman yang sesungguhnya. Adapun bentuk dari norma ini bermacam- macam
seperti aturan-aturan sopan santun pergaulan, undang- undang, aturan-aturan
adapt dan lain-lain. (koentjaraningrat 1974:21).
Norma-norma
dalam masyarakat mempunyai kekuatan yang berbeda-beda. Pembagianya yaitu sebagai berikut:
a)
Norma Cara (usage)
Merupakan proses interaksi yang terus menerus akan melahirkan pola-pola
tertentu yang mempunyai kekuatan yang lemah dibandingkan norma yang lain. Norma ini menunjuk pada suatu perbuatan dan
lebih menonjol didalam hubungan antar individu dalam masyarakat. Suatu penyimpangan terhadapnya tak akan
mengakibatkan hukuman yang berat. Akan
tetapi hanya sekedar celaan dari individu yang dihubunginya.
b)
Norma kebiasaan (folkways)
Norma ini mempunyai kekuatan mengikat yang lebih besar dari pada norma
cara dan memiliki sanksi agak berat.
Kebiasaan diartikan sebagai perbuatan berulang-ulang dalam bentuk yang
sama dan merupakan bukti bahwa orang banyak menyukai perbuatan tersebut. Pelanggaranya berupa teguran dan sindiran.
c)
Norma tata kelakuan (mores)
Merupakan aturan yang berlandaskan pada apa yang baik dan seharusnya menurut ajaran agama, filsafat, atau nilai
kebudayaan. Pelanggaran terhadap norma ini memiliki sanksi yang berat yaitu
dianggap jahat atau aneh.
d)
Norma adat istiadat (custom)
Merupakan tata kelakuan yang kekal serta kuat integrasinya dengan pola
prilaku masyarakat.Memiliki sanksi yang keras
yaitu dikucilkan di masyarakat, sebagai contoh suatu ketentuan adat yang
melarang perceraian.
Norma-norma,
aturan prosedural dan aturan perilaku dalam kehidupan sosial pada hakekatnya
adalah bersifat kemasyarakatan yang berarti bukan saja karena norma-norma
tersebut berkaitan dengan kehidupan sosial tetapi juga karena norma-norma tersebut
adalah pada dasarnya merupakan hasil dari kehidupan bermasyarakat yang
merupakan bagian dari masyarakat keseragaman tingkah laku individu dalam
kehidupan sosial dapat dianggap sebagai hasil dari keterkaitan mereka terhadap
norma-norma sosial.
2.1.7 Masyarakat Dengan Budaya
Kebudayaan
adalah ciptaan manusia, namun kemudian tidak sedikit cara berfikir, berasa, bersikap dan berprilaku dari manusia itu sendiri dipengaruhi
sampai dengan ditentukan oleh kebudayaan yang dianutnya. Peran kebudayaan yang seperti ini
tidak hanya berlaku dalam generasi tertentu tetapi turun temurun dari generasi
kegenerasi silih berganti. Kebudayaan
diperoleh manusia melalui proses belajar dari lingkunganya. Dengan proses belajar ini, manusia bisa
memperoleh, menambah (mengembangkan), atau mungkin juga mengurangi berbagai
macam pengetahuan atau pengalamanya. Ada 3 macam bagaimana kebudayaan
dipelajari serta diterima pemiliknya.
a)
Kebudayaan diperoleh lewat pengalaman hidup dalam
menghadapi lingkunganya.
b)
Kebudayaan diperoleh lewat pengalaman hidupnya sebagai mahluk sosial.
c)
Kebudayaan diperoleh melalui komunikasi simbolik
(benda, manusia, tindakan, ucapan, gerak tubuh, peristiwa yang memiliki makna).
Pada dasarnya
kebudayaan itu dimiliki oleh individu warga masyarakat atau pada warga dari
suatu kesatuan sosial. Namun karena pada
hakekatnya individu itu sendiri sebagai mahluk sosial, hidup bersama dengan
sesamanya, maka pada prinsipnya kebudayaan pun menjadi milik individu-individu
dari warga masyarakat yang bersangkutan.
Hal ini bisa dipahami karena mereka harus berkomunikasi dengan
simbol-simbol yang maknanya dimengerti oleh semua warga. Sedangkan yang memberikan arti pada
simbol-simbol itu adalah kebudayaan.
Karenanya, mereka bisa dinyatakan mempunyai kebudayaan yang sama atau
bahwa semua masyarakat itu mesti mempunyai sebuah kebudayaan pula. Kebudayaan berguna bagi manusia untuk
melindungi diri terhadap alam, mengatur hubungan antar manusia dan sebagai
wadah dari segenap perasaan manusia.
Oleh karena itu kebudayaan mempunyai fungsi yang sangat besar bagi
manusia dan masyarakat.Hasil karya masyarakat melahirkan teknologi atau
kebudayaan kebendaan yang mempunyai kegunaan utama di dalam melindungi
masyarakat terhadap lingkungan di dalamnya. Teknologi paling sedikit memiliki tujuh
unsur, yaitu:
1.
Alat-alat produktif
2.
Senjata
3.
Wadah
4.
Makanan dan minuman
5.
Pakaian dan perhiasan
6.
Tempat berlindung dan perumahan
7.
Alat-alat transpor
(Koentjaraningrat, 1971 :166).
Post a Comment for "Agresi militer I dan II"