Peristiwa Medan Area
3 Peristiwa Medan Area
Tanggal 27 Agustus 1945 rakyat Medan baru mendengar berita proklamasi
yang dibawa oleh Mr. Teuku Mohammad Hassan sebagai Gubernur Sumatera.
Menanggapi berita proklamasi para pemuda dibawah pimpinan Achmad Tahir
membentuk barisan Pemuda Indonesia. Pendaratan Sekutu di kota Medan terjadi
pada tanggal 9 Oktober 1945 dibawah pimpinan T.E.D Kelly. Pendaratan tentara
sekutu (Inggris) ini diikuti oleh pasukan sekutu dan NICA yang dipersiapkan
untuk mengambil alih pemerintahan.
Kedatangan tentara sekutu dan NICA ternyata memancing berbagai insiden.
Pada tanggal 13 Oktober 1945 pemuda dan TKR bertempur melawan Sekutu dan NICA
dalam upaya merebut dan mengambil alih gedung-gedung pemerintahan dari tangan
Jepang. Inggris mengeluarkan ultimatum kepada bangsa Indonesia agar menyerahkan
senjata kepada Sekutu. Ultimatum ini tidak pernah dihiraukan. Pada tanggal 1
Desember 1945, Sekutu memasang papan yang tertuliskan "Fixed Boundaries
Medan Area" (batas resmi wilayah Medan) di berbagai pinggiran kota Medan.
Tindakan Sekutu itu merupakan tantangan bagi para pemuda. Pada tanggal 10
Desember 1945, Sekutu dan NICA melancarkan serangan besar-besaran terhadap kota
Medan. Serangan ini menimbulkan banyak korban di kedua belah pihak. Pada bulan
April 1946, Sekutu berhasil menduduki kota Medan. Pusat perjuangan rakyat Medan
kemudian dipindahkan ke Pemantangsiantar. Untuk melanjutkan perjuangan di Medan
maka pada bulan Agustus 1946 dibentuk Komando Resimen Laskar Rakyat Medan Area.
Komandan initerus mengadakan serangan terhadap Sekutu diwilayah Medan. Hampir
di seluruh wilayah Sumatera terjadi perlawanan rakayat terhadap Jepang, Sekutu,
dan Belanda. Pertempuran itu terjadi, antara lain di Padang, Bukit Tinggi dan
Aceh.
2.1.5.3.4 Peristiwa Merah Putih di Manado
Pada Juli 1944 Tentara Jepang menderita kekalahan dalam
pertempuran di lautan Pasifik terhadap serangan pasukan Sekutu lalu mundur dan
memperkuat kubu pertahanannya di Sulawesi dan Maluku Utara. Dr Sam Ratulangi di Jakarta mengirim
perutusan pemuda ke Manado untuk menyambut kemerdekaan Indonesia bila perang
Pasifik berakhir dengan kemenangan Sekutu. Perutusan ini terdiri dari dua
anggota tentara Freddy Lumanauw, Mantik Pakasi dan para pemuda Wim Pangalila,
Olang Sondakh dan Buce Ompi. Mereka
diberangkatkan dengan kereta api ke Surabaya dan mereka menaiki kapal Dai Yu
Maru langsung ke Manado. Mereka dihentar ke stasiun Gambir di Jakarta oleh Dr
Ratulangi, Mr Maramis dan perwira Kaigun-Jepang, Maeda.
Pada September 1944. Puluhan pembom B-29 Angkatan
Udara Sekutu memusnahkan Kota Manado sampai menjadi puing. Banyak penduduk
tewas. Tokoh-tokoh nasionalis dicurigai Jepang sebagai mata-mata Sekutu,
sebagiannya terdiri dari para raja Sangihe-Talaud, tokoh Tionghoa dan beberapa
pejabat polisi dan pamong praja yang menjalankan hukuman mati. Tentara Sekutu di bawah Jendral Mac Arthur
menduduki Morotai dan menyerang kubu-kubu pertahanan Jepang di Sulawesi Utara
lalu beralih dan menduduki pada 10 Oktober pulau Leyte di Filipina.
Pada April-Agustus
1945: Pimpinan tentara Kaigun yang
pindah ke Tondano mempersiapkan Indonesia Merdeka sesuai janjinya. Bendera
Merah-Putih mulai dikibarkan di samping bendera Hinomaru sedangkan
jabatan-jabatan sipil berangsur-angsur diserahkan kepada bangsa Indonesia.
Tentara keamanan diserahkan oleh panglima Laksamana Hamanaka kepada Indonesia
dalam bentuk pasukan Pembela Tanah Air (PTA), pimpinan Wangko Sumanti, tetapi
tidak dengan penyerahan senjata. Di
Jawa dikumandangkan Proklamasi Kemerdekaan 17-8-1945 oleh Soekarno-Hatta yang
kemudian baru dimaklumi di Sulawesi Utara. Panglima
Hamanaka menyerah kepada Tentara Sekutu di Morotai dengan seluruh pasukannya
sejumlah 8000 orang yang dikumpulkan di kamp tawanan di Girian-Bitung.
Pada September 1945 Pemuda Sulawesi Utara membentuk Barisan
Pemuda Nasional Indonesia (BPNI) sementara NICA-Belanda di bawah perlindungan
Sekutu menduduki kembali Indonesia Timur, khususnya Sulawesi Utara, dan segera
berusaha memulihkan kekuasaannya dari masa Hindia-Belanda tetapi terlibat clash
dengan pasukan pemuda BPNI. NICA
telah membentuk kembali LOI (organisasi pusat ketentaraan) sebesar 8 kompi yang
terdiri dari tentara KNIL bekas pasukan Sekutu dengan menerima juga bekas
Heiho-Jepang dan pensiunan militer (reserve corps). Sesuai misi dari Ratulangi pasukan NICA ini harus disusupi oleh
para pemuda pejuang militer untuk kemudian dibantu oleh pemuda (BPNI)
mewujudkan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Hal ini terlaksana sehingga
di asrama militer di Teling-Manado dibentuk suatu organisasi gelap yang sangat
rahasia oleh Freddy Lumanauw dan Wangko Sumanti yang dinamakan mereka:
‘’Pasukan Tubruk’’.
pada Januari 1946: Akhir Desember 1945, seluruh pasukan Sekutu (Australia) meninggalkan
Manado dan tugas Sekutu diserahkan kepada NICA-KNIL di bawah pimpinan Tentara
Inggris yang berpusat di Makassar. BPNI melihat kesempatan ini dan pemimpinnya,
John Rahasia dan Wim Pangalila, merancangkan suatu pemberontakan pemuda yang
akan dibantu oleh Freddy Lumanauw dari Pasukan Tubruk di Teling. Bagian NEFIS-Belanda mulai mencurigai
Lumanauw dan Pakasi yang kedapatan telah disusupkan oleh Dr Ratulangi dari
Jakarta ke dalam KNIL. Mereka berdua dimasukkan dalam penjara di Manado oleh
oditur militer Schravendijk dan akan diproses untuk diadili. Rencana John Rahasia dan Wim Pangalila
untuk merebut kekuasaan pada upacara NICA 10 Januari, juga diketahui NEFIS dan
semua tokoh pemuda BPNI di Manado dan Tondano telah ditangkap pada hari
sebelumnya. Dua minggu kemudian mereka dilepaskan karena belum ada bukti hukum
untuk dapat dituntut di mahkamah militer.
Februari 1946 Komplotan militer KNIL di Teling masih dicurigai oleh bagian intel NEFIS
dan panglima KNIL yang bermarkas di Tomohon memerintahkan supaya menahan dalam
‘’streng arrest’’ di Teling para pemimpinnya, yakni Furir Taulu, Sersan Wuisan,
Wangko Sumanti, Frans Lantu, Yan Sambuaga dan Wim Tamburian, karena mereka
telah menghasut tentara Indonesia dari kompi-kompi di Teling, Tomohon dan di
Girian supaya berontak karena kekurangan gaji, ransun, rokok, berbeda dengan
jaminan yang terima oleh sesama tentara bangsa Belanda. Apalagi tentara
Indonesia yang berpegang di bawah pimpinan Sekutu dalam Perang Dunia II
dihargai dan dijamin sama terhadap seluruh pasukan. Belanda tidak mengetahui bahwa hasutan-hasutan
di seluruh kalangan militer Indonesia hanyalah untuk menutupi rahasia yang
bertujuan sebenarnya untuk menggulingkan kekuasaan Belanda dan menegakkan
kemerdekaan Indonesia.Pimpinan rencana kup ini hanya menggunakan strategi
kampanye untuk memuluskan pelaksanaannya dengan melancarkan provokasi tentang
ketidakadilan jaminan antara tentara Indonesia dan tentara Belanda. Tentara
KNIL umumnya bukan inginkan kemerdekaan.
Pada 14 Februari 1946
Khusus Kompi-VII bekas Pasukan Sekutu yang terkenal pemberani dan menjadi
tumpuan harapan pimpinan KNIL tidak diduga Belanda telah dapat dipengaruhi,
bahkan komandan peleton I Kopral Mambi Runtukahu telah ditunjuk oleh Taulu dan
Wuisan untuk memulaikan aksi penyergapan pos-pos di markas garnisun
Teling-Manado tepat nanti pada jam satu tengah malam. Dan menangkap semua
tentara Belanda, mulai dengan komandan garnisun Kapten Blom, komandan Kompi-VII
Carlier, CPM dan seterusnya di Kota Manado. Hal ini telah berlangsung sesuai
rencana rahasia dari Taulu-Wuisan.Tidak ada perlawanan, karena semua tentara
Indonesia yang tidak termasuk Pasukan Tubruk hanya menganggap bahwa
pemberontakan militer ini hanya perlu untuk menuntut keadilan serta perbaikan
nasib dan jaminan yang sama bagi tentara Indonesia. Ketiga pimpinan Taulu, Wuisan
dan Lumanauw dibebaskan dari tahanan dan semua tentara Belanda ditampung
sementara oleh Kopral Wim Tamburian dalam satu gedung di Teling. Keluarga
mereka di berbagai kompleks militer tidak diapa-apakan tetapi mereka semua
akhirnya dikumpulkan di Sario.Kaum nasionalis yang ditangkap NICA karena
dituduh kolaborator Jepang seperti Nani Wartabone, OH Pantouw, Geda Dauhan,
yang berada di penjara termasuk pimpinan pemuda BPNI, John Rahasia dan Chris
Ponto yang berniat memberontak pada Januari yang lalu, semuanya dibebaskan oleh
aksi militer Kompi-VII. Frans
Bisman dan Freddy Lumanauw berangkat dengan dua peleton pada pagi hari ke
markas besar KNIL di Tomohon untuk menangkap komandan KNIL De Vries dan Residen
NICA Koomans de Ruyter. Kemudian satu regu pemberontak militer dari Manado
menuju ke Girian-Tonsea untuk menahan Letnan Van Emden, komandan kompi yang
menjaga kamp tawanan Jepang. Mula-mula mereka alami kesulitan tetapi Kumaunang
dapat menangkapnya dengan cepat. Kapten KNIL J Kaseger yang selama ini non-aktif di Tondano dan sedang
memulihkan kesehatannya karena penderitaan selama ditahan tentara Jepang, tidak
menyangka berhasilnya kup militer Indonesia terhadap atasannya Belanda. Ia
segera ke Manado dan Furir Taulu, Sersan Wuisan dan Sersan Nelwan mengajaknya
untuk mengambil alih pimpinan pemberontakan karena pangkatnya yang lebih
tinggi. Kaseger adalah tamatan Akademi Militer di Breda, Belanda, dan apa
salahnya ia sebagai orang Indonesia melepaskan sumpah kesetiannya pada Ratu
Belanda dan ikut dalam perjuangan kemerdekaan bangsanya.
Pada 15 Februari 1946
Komandan KNIL De Vries yang tertawan dihadapkan oleh Kaseger kepada
Taulu dan Wuisan untuk memperoleh kesepakatan dalam menyelesaikan perselisihan
mereka. De Vries bertanya apakah kup militer ini dapat menjamin kelangsungan
hidup dan keamanan 8 kompi tentara dan 8000. Tawanan Jepang tanpa bantuan
suplai Belanda atau Sekutu atau dari manapun? Pada saat itu sebenarnya Taulu
sudah harus menyerah tetapi ia katakan bahwa kup militer ini: ‘’kami bersama
pemuda sedang memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dan ini kami pertahankan.’’
Kaseger hanya membiarkan Taulu dan Wuisan tetap pada pendirian mereka tetapi ia
juga tidak memihak pada De Vries, apalagi pemuda BPNI telah menguasai situasi
dan membantu pemberontakan. Di seluruh daerah Minahasa mulai dikibarkan bendera
Merah-Putih dan semua pamong praja
ditertibkan dalam alam pemerintahan baru yang merdeka.
Pada 16 Februari 1946 Sidang darurat Dewan Minahasa di
Manado menetapkan sesuai rencana semula Kepala Distrik Manado, BW Lapian
sebagai Kepala Pemerintah Merah-Putih Merdeka dengan kabinet serta berbagai
departemennya, yakni W Saerang (sekretariat), DA Th Gerungan (pemerintahan),
Alex Ratulangi (keuangan), drh Wim Ratulangi (perekonomian), R Hidayat
(kehakiman), Mayor SD Wuisan (merangkap kepolisian), dr Ch Singal (kesehatan),
E Katoppo (pengajaran), Max Tumbel (perhubungan/pelabuhan). Selanjutnya barisan pemuda PPI
dipercayakan untuk memelihara keamanan di seluruh wilayah di bawah
hulubalang-besar ED Johannes dan para hulubalang dengan kota serta kecamatan,
yakni untuk kota besar Manado John Rahasia, selanjutnya untuk berbagai wilayah
kecamatan para komandan Mat Canon, Eddy Mondong, Jo Supit, John Malonda, Max
Roringkon, Ton Lumenta dan lain-lain. Sedangkan untuk markas besar PPI di Tondano terdapat
nama-nama Wim Pangalila, Chris Ponto, Ben Wowor, Engel Parengkuan, Andi
Masengi, Mat dan Usman Pulukadang, Nona Wuli Supit dan lain-lain.
Pada 22 Februari 1946
Rapat umum di lapangan Tikala yang diselenggarakan oleh pemerintah
merdeka Merah-Putih Sulawesi Utara dan dihadiri para tokoh militer, sipil,
pamongpraja dan masyarakat rakyat, menyatakan bergabung dengan perjuangan
kemerdekaan seluruh Indonesia di bawah pemerintah RI Sukarno-Hatta di
Yogyakarta.
Pada 23 dan 24
Februari 1946 Pimpinan Sekutu dari Makassar datang berunding di Manado di atas
kapal El Libertador, dipimpin oleh kepala perutusannya, Letkol Purcell
didampingi pimpinan NICA-Belanda dan Panglima KNIL Kol Giebel. Perutusan
Pemerintah Merah-Putih dipimpin oleh BW Lapian didampingi komandan Ch Taulu,
Pemuda PPI dan anggota stafnya. Tuntutan Sekutu untuk mengembalikan kekuasaan NICA atau meneruskan
perundingan di Makassar setelah ditolak oleh pihak Indonesia, masih diberi
kesempatan untuk mendengar keputusan akhir dari rakyat pada esok harinya yang
diselenggarakan di Tomohon. Rapat
rakyat ini dihadiri oleh semua tokoh nasionalis, pemuda dan para wakil dari
daerah-daerah Sulut yang akhirnya juga menolak pemulihan kekuasaan Belanda di
daerah ini. Maka keputusan
Sekutu yang disampaikan oleh wakilnya Purcell menyatakan mulai saat itu
‘’Kekuasaan daerah setempat berada dalam status perang dengan Sekutu, namun
meminta supaya seluruh warga Belanda dievakuasi ke Morotai dan kamp tawanan
Jepang tetap dijaga atas nama Sekutu’’. Delegasi Indonesia menerima pernyataan
perang dan permintaan Sekutu tersebut. Kapal El Libertador selama dua hari mengangkut semua
warga Belanda di Manado-Minahasa ke pangkalan Sekutu di Morotai, lalu delegasi
Sekutu itu kembali ke Makassar. Tindakan Sekutu-Belanda selanjutnya ialah meletakkan blokade di sekitar
perairan Sulawesi Utara dan melakukan embargo terhadap suplai kebutuhan bahan
dan makanan yang datang dari luar daerah ini.
Pada 10 Maret 1946 Setelah 24 hari mengalami blokade
Sekutu, rakyat di daerah Minahasa mulai gelisah dan kaum militer yang ikut
memberontak untuk tujuan perbaikan nasib beralih sikap dan mulai menentang
pimpinan TRISU. Kapten Kaseger menyiapkan suatu kontra aksi dari kalangan
militer dan menunggu saatnya untuk menggulingkan pemerintah merdeka Merah-Putih
Lapian-Taulu, sedangkan PPI masih menuntut supaya para anggotanya
dipersenjatai. Ternyata semua senjata dari tentara Jepang setelah dikumpulkan
Sekutu yang segera dibuang ke dasar laut sedang TRISU tidak dapat meluluskan
senjata yang dipegang oleh anggota pasukannya untuk diserahkan atau dibagikan
kepada PPI. Akhirnya
pasukan-pasukan pengikut Taulu-Wuisan berbalik memihak kepada Kaseger yang
sedang memulihkan kekuasaan KNIL kembali ke tangan Belanda. Kaseger dibantu
oleh kapal perang Belanda HMS Piet Hein yang bersama kapal perang HMS Evertsen
sedang mengangkut pasukan KL Divisi 7-Desember dari negeri Belanda untuk
disebarkan di Indonesia. Mula-mula
Gorontalo diduduki oleh tentara marinir Belanda dari kapal perang HMS Piet
Hein, kemudian pasukan-pasukan yang pernah ikut pemberontakan Taulu di Teling
berbalik mulai menyerang pimpinan TRISU di Manado, Tomohon, dan Girian. Pemberontak
dan pejuang utama Mambi Runtukahu tewas dalam pertempuran di Girian. Pada pagi
tanggal 10 Maret itu juga pimpinan TRISU ditangkap di Teling dan pasukan
Kaseger beranjak mematahkan seluruh pertahanan pemuda PPI di Manado san
selanjutnya yang giat di Tomohon dan Kakas, kemudian pada 16 Maret markas PPI
dan seluruh pimpinannya di Tondano ditangkap Kaseger dan dimasukkan dalam
penjara Manado. Tentara Belanda KL
diturunkan ke darat membantu pasukan kapten KNIL Kaseger untuk memulihkan
kekuasaan Belanda di Sulawesi Utara. Sebaliknya para anggota pucuk pimpinan
Merah-Putih ditahan dan dikurung di kapal Piet Hein. Juga pasukan KNIL pimpinan
Kaseger yang tadinya melatih para pemuda PPI memegang senjata menyebar ke
daerah Minahasa dan menangkap semua pimpinan pemuda PPI itu yang menyerah tanpa
ada perlawanan.
Kecuali No Korompis dan
pasukan pemuda yang masih bertahan di perbukitan Tonsaru dan Paleloan.
Begitupun hulubalang PPI John Rahasia yang tidak mau menyerahkan diri dan lari
dengan perahu untuk bergabung dengan perjuangan di Sulawesi Selatan. Para warga Belanda yang dievakuasi ke
Morotai dipulangkan kembali ke Manado yang telah dikuasai dan dipulihkan
kembali oleh NICA. Semua pemimpin pemberontakan militer dan pemuda ditangkap
dan dipenjarakan. Mereka yang diadili oleh mahkamah militer Belanda dijatuhkan
hukuman sampai 20 tahun. Anggota militer No Korompis dan Freddy Lumanauw dijatuhkan hukuman
penjara 20 dan 15 tahun sedang yang lainnya dari Pasukan Tubruk dan para tokoh
nasionalis dan pemuda kurang dari 10 tahun. Mereka semua dipindahkan ke penjara
Bandung, Jakarta dan Nusa Kembangan, di antara mereka tokoh sipil: BW Lapian,
Nani Wartabone, Kusno DP, ED Johannes, John Rahasia, Wim Pangalila, Mat Canon,
John Malonda, W Saerang. Mereka semua dibebaskan setelah tercapai persetujuan
KMB.
Post a Comment for "Peristiwa Medan Area"