Tinjauan tentang Pemahaman Makna Bhinneka Tunggal Ika
Tinjauan tentang Pemahaman Makna Bhinneka
Tunggal Ika
Bhinneka Tunggal Ika merupakan semboyan bangsa Indonesia.
Semboyan ini tertulis di dalam lambang negara Indonesia, Burung Garuda
Pancasila. Pada kaki Burung Garuda itulah terpampang
dengan jelas tulisan Bhinneka Tunggal Ika. Secara konstitusional, hal
tersebut telah diatur dalam pasal 36A Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi
“Lambang Negara ialah Garuda Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika”.
Semboyan
“Bhinneka Tunggal Ika” memuat dua konsep yang berbeda, bahkan kedua konsep
tersebut seolah-olah bersifat kontradiktif. Kedua konsep itu adalah “Bhinneka”
dan “Tunggal Ika”. Konsep “Bhinneka” mengakui adanya keanekaan atau keragaman,
sedangkan konsep “Tunggal Ika” menginginkan adanya kesatuan. Keanekaan dicirikan
oleh adanya perbedaan, sedangkan kesatuan dicirikan oleh adanya kesamaan. Jika
kedua hal tersebut dipahami dan dilaksanakan
dengan tekanan yang berbeda (tidak seimbang), maka akan dapat menimbulkan kondisi yang berbeda pula. Manakala segi
keanekaan yang menonjolkan unsur perbedaan itu ditampilkan secara berlebihan,
maka kemungkinan munculnya konflik tak terhindarkan. Sebaliknya, manakala segi
kesatuan yang menonjolkan kesamaan itu ditampilkan secara berlebihan, maka
tindakan itu tergolong melanggar kodrat perbedaan, karena perbedaan adalah
kodrat sekaligus berkah yang tak
terelakkan. Adanya dua konsep yang berbeda tersebut
menunjukkan bahwa semboyan “Bhinneka Tunggal Ika”
mengandung problem metafisika, yaitu problema antara
kepelbagaian dan kesatuan, pro-blem antara hal banyak (the many) dan hal
satu (the one). Berdasarkan problema tersebut tampak bahwa untuk mencari
makna “Bhinneka Tunggal Ika” diperlukan adanya
perenungan mendalam yang bersifat filosofis metafisis.
Istilah
“Bhinneka Tunggal Ika” dipetik dari Kitab Sutasoma
karya Mpu Tantular semasa kerajaan Majapahit sekitar abad ke-14. Istilah
tersebut tercantum dalam bait 5 pupuh 139. Bait ini secara lengkap seperti di
bawah ini:
Rwāneka dhātu
winuwus Buddha Wiswa,
Bhinnêki rakwa
ring apan kena parwanosen,
Mangka ng
Jinatwa kalawan Śiwatatwa tunggal,
Bhinnêka tunggal
ika tan hana dharma mangrwa.
Terjemahan:
Konon Buddha dan
Siwa merupakan dua zat yang berbeda.
Mereka memang
berbeda, tetapi bagaimanakah bisa dikenali?
Sebab kebenaran
Jina (Buddha) dan Siwa adalah tunggal
Terpecah belahlah itu, tetapi satu
jualah itu.
Tidak ada kerancuan dalam kebenaran.
Kitab
Sutasoma mengajarkan toleransi kehi-dupan beragama, yang menempatkan agama
Hindu dan agama Buddha hidup bersama dengan rukun dan damai. Kedua agama itu
hidup beriringan di bawah payung kerajaan, pada jaman pemerintahan raja Hayam
Wuruk. Meskipun agama Hindu dan Buddha merupakan dua substansi yang berbeda,
namun perbedaan itu tidak menimbulkan perpecahan, karena kebenaran Hindu dan
Buddha ber-muara pada hal “Satu”. Hindu dan
Buddha memang berbeda, tetapi sesungguhnya satu jenis, tidak ada
perbedaan dalam kebenaran.
Istilah
“Bhinneka Tunggal Ika” yang semula menunjukkan semangat toleransi keagamaan,
ke-mudian diangkat menjadi semboyan bangsa Indonesia.
Sebagai semboyan bangsa konteks permasalahannya bukan hanya menyangkut
toleransi beragama tetapi jauh lebih luas seperti yang umum disebut dengan
istilah suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA). Semboyan itu dilukiskan di
bawah lam-bang negara Indonesia yang dikenal dengan nama Garuda Pancasila. Lambang negara Indonesia lengkap dengan semboyan
“Bhinneka Tunggal Ika” telah ditetapkan dalam
Peraturan Pemerintah No. 66 tahun 1951 tentang Lambang Negara.
Jika dianalisis, semboyan
“Bhinneka Tunggal Ika” yang berasal dari bahasa Sansekerta itu terdiri dari
kata “Bhinneka”, “Tunggal”, dan “Ika”. Kata “Bhinneka” berasal dari kata “Bhinna” dan “Ika”. “Bhinna” artinya
berbeda-beda dan “Ika” artinya itu. Jadi, kata “Bhinneka” berarti “yang
berbeda-beda itu”. Analisa lain menunjukkan bahwa kata “bhinneka” terdiri dari
unsur kata “bhinn-a-eka”. Unsur “a” artinya tidak, dan “eka” artinya satu.
Jadi, kata “bhinneka” juga dapat berarti “yang tidak satu”. Sedangkan kata
“Tunggal” artinya satu, dan “Ika” artinya itu. Berdasarkan analisa
tersebut dapat
disimpulkan bahwa semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” berarti “yang berbeda-beda
itu dalam yang satu itu” atau “beranekaragam namun satu jua”. Semboyan Bhinneka
Tunggal Ika hampir sama artinya dengan semboyan negara Amerika Serikat, E
Pluribus Unum yang artinya bersatu walaupun
berbeda-beda, berjenis-jenis tetapi tunggal.
Kebhinnekaan atau yang
berbeda-beda itu menunjuk pada realitas objektif masyarakat Indonesia yang
memiliki keanekaragaman yang tinggi. Keanekaragaman masyarakat Indonesia dapat
dite-mukan dalam berbagai bidang kehidupan. Keaneka-ragaman di bidang politik diwarnai oleh
adanya kepentingan yang berbeda-beda antara individu atau kelompok yang
satu dengan individu atau kelompok yang lainnya. Di bidang ekonomi, keanekaragaman dapat
dilihat dari adanya perbedaan kebutuhan hidup, yang akhirnya berimplikasi
terhadap mun-culnya keanekaragaman pada pola produksi. Di bidang sosial,
keberagaman itu tercermin dari adanya perbedaan peran dan status sosial. Selain itu, ke-anekaragaman
juga dapat dilihat dari segi geografis, budaya, agama, etnis, dan sebagainya. Keaneka-ragaman
itu pun masih dikukuhkan lagi oleh kebhinnekaan perseorangan masing-masing anak
negeri yang kini berjumlah lebih dari 200 juta jiwa. Dengan adanya
keanekaragaman dalam berbagai bidang tersebut menyebabkan Indonesia dijuluki
sebagai masyarakat yang multi etnik, multi agama (multi religi), multi budaya
(multikultural), dan sebagainya. Dengan singkat dapat dikatakan bahwa Indonesia
merupakan masyarakat yang majemuk (Plural Society).
Jika dilihat dari struktur
sosialnya, keaneka-ragaman atau kemajemukan masyarakat Indonesia berdimensi
ganda, karena memiliki kemajemukan secara horizontal dan vertikal.
Kemajemukan secara horizontal dalam sosiologi dikenal dengan istilah deferensiasi sosial. Diferensiasi
sosial merupakan suatu sistem kelas sosial dengan sistem linear atau tanpa
membeda-bedakan tinggi-rendahnya kelas sosial itu sendiri. Misalnya, perbedaan
agama, ras, etnis, clan (klan), pekerjaan, budaya, maupun jenis kelamin.
Kemajemukan secara vertikal melahirkan stratifikasi sosial. Dalam Sosiologi, stratifikasi sosial
dapat diartikan sebagai pembedaan penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-kelas
secara bertingkat. Perwujudannya adalah adanya lapisan-lapisan di dalam
masyarakat, ada lapisan yang tinggi dan ada lapisan-lapisan di bawahnya,
seperti lapisan kaya dan miskin, penguasa dan jelata.
Makna kesatuan (tunggal ika) dalam Bhinneka
Tunggal Ika merupakan cerminan rasionalitas yang lebih menekankan kesamaan
daripada perbedaan. Kesatuan merupakan sebuah gambaran ideal. Di-katakan ideal
karena kesatuan merupakan suatu harapan atau cita-cita untuk mengangkat atau
menempatkan unsur perbedaan yang terkandung dalam keanekaragaman bangsa
Indonesia ke dalam suatu wadah, yakni Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Kesatuan adalah upaya untuk menciptakan wadah yang mampu menyatukan
kepelbagaian atau keanekaragaman.
Berdasarkan
uraian di atas dapat dikatakan bahwa Bhinneka
Tunggal Ika merupakan pernyataan jiwa dan semangat bangsa Indonesia
yang menga-kui realitas bangsa yang majemuk, namun tetap menjunjung tinggi
kesatuan. Bhinneka Tunggal Ika merumuskan dengan tegas adanya harmoni antara
kebhinnekaan dan ketunggalikaan, antara keaneka-an dan keekaan, antara
keragaman dan kesatuan, antara hal banyak dan hal satu, atau antara pluralisme
dan monisme.
Bhinneka
Tunggal Ika adalah cerminan keseimbangan antara unsur perbedaan yang menjadi
ciri keanekaan dengan unsur kesamaan yang menjadi ciri kesatuan (Rizal
Mustansyir, 2009 : 52). Keseimbangan itu sendiri merupakan konsep filsafati
yang selalu terletak pada ketegangan di antara dua titik ekstrim, yaitu
keanekaan mutlak di satu pihak dan kesatuan mutlak di pihak lain. Setiap kali
segi keanekaan yang menonjolkan
perbedaan itu memuncak akan membawa kemungkinan munculnya
konflik, maka kesatuanlah yang akan meredakan atas dasar kesadaran nasional. Demikian pula sebaliknya, mana-kala
segi kesatuan yang menonjolkan kesamaan itu tampil secara berlebihan, maka
keanekaan selalu mengingatkan bahwa perbedaan adalah kodrat se-kaligus berkah yang tak terelakkan.
Semboyan
Bhinneka Tunggal Ika merupakan pernyataan yang mengakui realitas bangsa
Indo-nesia yang majemuk (berbhinneka), namun selalu mencita-citakan terwujudnya
kesatuan (ketunggal-ikaan). Indonesia yang ber-Bhinneka Tunggal Ika berarti
Indonesia selain mengakui adanya kepelba-gaian juga mengakui adanya kesatuan.
Dalam
kehidupan bersama kebhinnekaan bisa menjadi berkah atau sebaliknya sumber
bencana tergantung cara kita memandang dan mengelola-nya. Tirta N Mursita dalam
Taneko B. Soleman (2010 : 32) mengatakan bahwa
keberagaman itu given (berkah), tak bisa dihindari di dunia ini. Siapa yang bisa mengelak
kalau ada kulit hitam, putih, kuning, dan cokelat di dunia ini. Siapa pula yang
menafikan, kalau ada ratusan, ribuan bahkan jutaan pemikiran baru di alam ini. Semua saling
bertumpuk-tumpuk, memberikan tesis dan antitesis baru. Kebhinnekaan merupakan ciri dasar
bangsa Indonesia sejak Republik ini dibentuk, kemudian diproklamasikan oleh para founding
fathers pada paruh kedua abad silam hingga kini. Sebagai suatu realitas
objektif, maka kebhinnekaan telah menjadi identitas bangsa Indonesia. Karena
itu, upaya-upaya untuk meniadakan keberagaman atau upaya penyeragaman merupakan
tindakan yang menentang kenyataan. Kalau keberagaman itu tidak boleh ada di
Indonesia, berarti identitas bangsa tidak ada lagi.
Untuk
menjaga keberlangsungan hidup berbangsa, kebhinnekaan sebaiknya tidak dipandang sebagai
ancaman, tetapi kebhinnekaan harus dipandang se-bagai aset yang
diharapkan mampu berperan sebagai sumber kekayaan bagi bangsa Indonesia. Kebhin-nekaan
sebagai kekayaan serta mendaya-gunakannya justeru dapat menjadi pondasi kokoh persatuan dari
sebuah imagined community yang bernama Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Kesadaran sebagai masyarakat yang berbhinneka tetapi
mencita-citakan
kesatuan yang dikukuhkan sebagai konsensus ber-sama dalam Soempah Pemuda 1928
telah menjadi modal sosial ampuh yang berhasil mempersatukan dan mengantar
negara-bangsa ini mampu melewati masa-masa sulit dari dulu sampai sekarang,
bahkan juga nanti.
Kadang-kadang kita kurang
menyadari bahwa kehidupan ini juga merupakan sinergi dari kekuat-an yang
berbeda. Bahkan perbedaan itu sering di-tempatkan pada posisi yang berlawanan
dan kontradiktif, seperti atas dan bawah, kiri dan kanan, positif dan
negatif, kaya dan miskin, laki-laki dan perempuan,
dan sebagainya. Dalam rancangan integrasi, perbedaan itu tidak dipandang sebagai sesuatu yang
berlawanan, melainkan sebagai sesuatu yang berpa-sangan. Yang satu mengandaikan
adanya yang lain. Ada “atas” karena ada “bawab”, ada “kiri” karena ada “kanan”,
demikian seterusnya, sehingga kita juga bisa mengatakan bahwa kesatuan
mengasum-sikan adanya keanekaragaman. Diri kita ada merupakan hasil sinergi dari dua
kekuatan yang berbeda, yaitu kekuatan laki-laki dan perempuan. Oleh karena itu,
kita bisa mengatakan bahwa diri ini ada sebagai produk perbedaan.
Dalam dunia pendidikan juga
penuh dengan warna-warni perbedaan. Ada guru ada murid yang
masing-masing memiliki kedudukan dan fungsi yang berbeda. Guru mengajar dan murid belajar.
Selain itu, dalam pendidikan juga ada berbagai sarana dan prasarana. Semua
unsur pendidikan yang berbeda-beda itu bersinergi sehingga terjadi proses
pendidikan berupa proses belajar mengajar (PBM).
Hardono Hadi (2004: 73) juga
mengatakan, “Kalau kita melihat suatu karya seni, kita akan
melihat bahwa keindahannya tidak pernah didasarkan kepada keseragaman”. Keindahan justru
tercipta bila terdapat perbedaan-perbedaan antara bagian-bagiannya yang
dipersatukan dalam satu yang Masyarakat yang berbhinneka yang dicirikan oleh
adanya perbedaan memang sangat rawan ter-hadap konflik. Indonesia sebagai
masyarakat berbhinneka, secara internal telah mengandung sumber-sumber ketegangan dan
pertentangan. Menurut Eka Dharmaputera (2007 : 40), baik keanekaragaman maupun
kesatuan Indonesia adalah kenyataan se-kaligus persoalan. Kebhinnekaan
Indonesia sepintas lalu memang jauh lebih menonjol daripada kesatu-annya. Oleh karena itu,
bahaya disintegrasi selalu merupakan ancaman baik riil maupun potensial. Jika
bertumpu pada realitas bangsa yang berbhin-neka, bahaya
disintegrasi memang merupakan ancaman yang amat nyata. Namun karena Indonesia tidak hanya
berbhinneka, tetapi juga tunggal ika, maka integrasi bukanlah sesuatu yang
mustahil. Setiap pembahasan tentang Indonesia yang mengabaikan kedua atau salah
satu dimensi tersebut, dapatlah dipastikan tidak akan mencapai sasaran.
Selanjutnya
Eka Darmaputera (2007 : 8-9) juga mengatakan, agar masyarakat dapat berfungsi dengan baik, masyarakat harus mampu
mengatasi disintegrasi potensial yang ada di dalam dirinya sendiri. Seluruh
masyarakat dapat berfungsi hanya apabila anggota-anggotanya bersedia untuk
mengintegrasi-kan diri, baik dalam bentuk integrasi normatif mau-pun integrasi
nilai. Integrasi normatif tercermin dari adanya kehidupan bersama di mana
seluruh anggota masyarakat
bersedia mematuhi dan mengikuti “aturan permainan” yang telah ditentukan. Sedangkan
inte-grasi nilai tercermin dari adanya nilai-nilai funda-mental yang dijadikan
sebagai pandangan hidup bersama.
Perbedaan
dalam kebhinekaan merupakan suatu realitas, karena itu perbedaan tidak perlu lagi untuk dibeda-bedakan.
Membeda-bedakan perbedaan justeru akan dapat menimbulkan bahaya disintegrasi. Per-bedaan dalam
kebhinnekaan perlu disinergikan atau dikelola dengan cara mendayagunakan aneka
perbedaan menjadi modal sosial untuk membangun kebersamaan. Karena kesatuan
dicirikan oleh ada-nya kesamaan, maka untuk mewujudkan cita-cita kesatuan
di tengah-tengah kebhinnekaan diperlukan adanya kesadaran, kemauan, dan kemampuan
untuk melihat
kesamaan pada sesuatu yang berbeda itu. Secara individu, setiap manusia adalah
berbeda, baik dilihat dari segi fisiknya maupun mentalnya. Setiap manusia
merupakan subjek yang otonom. Namun demikian, setiap manusia memiliki
kesa-maan, yaitu sama-sama manusia (sesama manusia). Demikian juga dalam
konteks ke-Indonesiaan, ter-dapat beragam suku, agama, ras, dan
golongan yang masing-masing
memiliki karakteristik yang berbeda-beda, tetapi semuanya memiliki kesamaan, yaitu sama-sama
bangsa Indonesia (sesama bangsa Indo-nesia). Konsep “sesama” tidak hanya
terbatas pada manusia. Manusia dengan binatang juga memiliki kesamaan, yaitu
sama-sama mahluk hidup (sesama mahluk hidup). Demikian juga kesamaan bisa
di-temukan dalam hubungannya dengan yang lain, sehingga muncul adanya berbagai
konsep sesama, seperi sesama ciptaan Tuhan, atau sesama isi dunia, dan lain
sebagainya. Inilah konsep “sesama” dalam arti luas (Pursika, 2009 : 28). kesatuan
tema. Keragaman dari bagian-bagian mem-perkaya nilai keseluruhan dan juga
saling mengangkat
nilai yang dimiliki oleh setiap bagian.
Post a Comment for " Tinjauan tentang Pemahaman Makna Bhinneka Tunggal Ika"