Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Kelompok Masyarakat Adat Lampung Saibatin

Kelompok Masyarakat Adat Lampung Saibatin
  
a.       Pengertian Masyarakat Adat Lampung Saibatin

Menurut Depdikbud “Adat Istiadat Daerah Lampung” (1985/ 1986: 22) pengertian masyarakat Adat Lampung Saibatin adalah kelompok yang menjaga kemurnian daerah dalam mendudukkan seseorang pada jabatan adat yang oleh sekelompok masayarakat Lampung yang disembut Kepunyimbangan. Saibatin sesungguhnya diartikan status yang ada dalam adat untuk membina kerukunan dalam bermasyarakat yang mengikat hubungan persaudaraan sehingga berkembang menjadi suatu kedudukan dengan adanya penyimbang Saibatin. Penyimbang Saibatin adalah istilah bagi pimpinan adat di daerah Lampung Pesisir umumnya dan desa Banjar Negeri khususnya.

Dalam Depdikbud (1986/ 1987: 28) dijelaskan bahwa secara harfiah penyimbang dapat diartikan seseorang yang berhak mewarisi masalah adat, berarti yang berhak menduduki jabatan sebagai kepala adat atau pimpinan adat yang kepemimpinannya diwarisi secara turun-temurun sejak dahulu pada anak-anak laki-laki yang tertua. Sedangkan penyimbang bila dihubungkan dengan masalah keturunan umumnya berarti anak penyimbang nyawa (anak laki-laki tertua) yang berhak mewarisi semua harta kedudukan pangkat di lingkungan kekerabatan adat dari pihak ayahnya.

Dalam Depdikbud (1986/1987: 13) Menurut sejarahnya orang Lampung berasal dari daerah Skala Berak (daerah penggunungan bukit barisan sekitar Krui ), kemudian melakukan perpindahan. Dalam perpindahan tersebut rombongan terpecah menjadi 2 bagian. Bagian yang pertama melewati bagian dalam daerah Lampung, sedangkan bagian kedua mengmbil jalan menyusuri sepanjang daerah pantai Lampung. Kelak mereka ini dinamakan orang Lampung yang beradat Saibatin.

b.      Pembagian Kelompok Masyarakat Adat Lampung Saibatin

Hilman Hadikusuma (1989: 159) mengemukakan bahwa masyarakat adat Saibatin adalah masyarakat adat suku Lampung yang bermukim di daerah sepanjang Pantai Teluk Lampung, Teluk Semangka, Krui Semangka, Krui Belalau, yang disebut orang Melinting sebagai Meningting Raja Basa, peminggir Semangka dan Krui-Belalau. Sesungguhnya yang juga tergolong penganut adat Saibatin adalah orang-orang Ranau/ Muara Dua, Komering/ Kayu Agung yang berdiam di daerah Sumatera Selatan.



Perkumpulan masyarakat Lampung Saibatin menurut Sayuti Ibrahim (1995: 16-19) dapat dikelompokkan menjadi 9 bagian meliputi:
1.      Belalau/ Krui
Sakau, Liwa, Kembahang, Batu Bekhak, Kenali, Sekincau.
2.      Peminggekh Semaka
Belungu, Benawang, Pematang Sawah, Way Ngarip.
3.      Peminggekh Pemanggilan
Kelumbayan, Pekhtiwi, Putih Doh, Badak, Limau, Waylima, Gunung Alip.
4.      Peminggekh Teluk
Teluk Betung, Menanga Khatai, Punduh Pidada.
5.      Melinting
Jabung, Melinting, Sekampung Udik, Sekampung Ilir.
6.      Meninting
Dantaran, Raja Basa, Ketibung.
7.      Komering/ Kayu Agung
8.      Semendawa Suku I, Semendawa Suku 2, Semendawa Suku 3, Buai Pemuka.
9.      Ranau/ Muara Dua
10.  Cikoneng Banten

Dalam penulisan ini, yang dimaksud dengan Masyarakat Bandakh Titian Agung desa Banjar Negeri merupakan masyarakat lampung yang beradat Saibatin atau Lampung Pesisir penduduk asli yang bertempat tinggal menetap di desa Banjar Negeri Kec.Waylima Kab.Pesawaran serta memiliki dan menganut budaya Lampung adat Saibatin.

c.       Aktifitas Peradatan Lampung Saibatin

Menurut Depdikbud (1986/ 1987: 14 dalam buku yang berjudul isi dan Kelengkapan Rumah Tangga Tradisional Lampung dikatakan bahwa Saibatin ditandai oleh kesembatan menduduki jabatan sebagai kepala adat, terbatas sampai tingkat Kepala Adat Pekon dengan syarat telah ada wilayah dan ada pengikutnya, dengan kata lain Ngangkat Saibatin. Kepala adat tingkat marga (marga geneologis) secara turun-temurun (tidak pernah bertambah). Di lihat dari strukturnya, maka masyarakat adat Saibatin dikelompokkan pada masyarakat hukum Adat Bertingkat, karena masyarakat terbagi dalam masyarakat hukum lainnya dimana beberapa masyarakat Hukum Bawahan tunduk pada Hukum Atasan.

Di linngkungan masyarakat adat Saibatin perbedaan antara golongan Saibatin/ Penyimbang dan golongan orang biasa dapat diketahui dari ada tidaknya perlengkapan adat, sedangkan golongan kedua tidak mempunyainya dan tidak berhak memakai perlengkapan adat.

Tingkat susunan masyarakat adat pada masyarakat adat Lampung Saibatin yang telah sedimikian rupa dipengaruhi oleh agama Islam yang masuk dari Banten, tingkat susunan masyarakat adat ini dapat dikatakan sudah tidak ada pengaruh. Namun dikalangan Saibatin sewaktu-waktu masih nampak penonjolan kebangsawan desanya. Sebaliknya, dikalangan masyarakat adat itu masih nampak sisa-sisanya sehingga masih ada anggapan bahwa golongan yang satu lebih rendah dari golongan yang lain. Adanya anggapan demikian ini telah menyebabkan angkatan muda Lampung menjadi tidak begitu tertarik lagi untuk melaksanakan upacara-upacara adat yang masih bersifat feodal desa.

Adat istiadat masyarakat Saibatin memutuskan seseorang tidak dapat menaikkan status adatnya walaupun memiliki potensinya seperti kekayaan, Kharisma, bila tidak mempunyai garis keturunan. Kedudukan dalam adat berdasarkan turun temurun (ascribed status). Kedudukan adat yang dikenal dengan nama Kepunyimbangan, hanya dapat diperoleh dengan turun temurun. Aturan status adat ini selain menyangkut kedudukan sebagai pemimpin adat, berlaku juga dengan berbagai atribut yang dikenakan, yang berlaku pada umumnya hanya pada waktu upacara adat dan majelis keadatan atribut tadi merupakan status simbol. Pada masyarakat Saibatin juga tidak terlepas dari hukum adat yang ada, yaitu menjunjung tinggi aturan-aturan, norma-norma dan kebiasaan yang sudah berkembang dalam masyarakat. Salah satunya adalah menyangkut rangkaian atau proses perkawinan, masyarakat Saibatin akan tetap berpegang teguh pada aturan adat dan hukum adat yang berlaku.

Masyarakat adat suku Lampung Saibatin yang menganut garis keturunan Bapak (patrilineal) mengenal dua jenis perkawinan secara adat yaitu:
2.      Sistem perkawinan Nyakak atau Mantudaw disebut juga perkawinan “ jujukh” karena si bujang harus mengeluarkan uang untuk membayar jujukh (bandi lunik) kepada pihak keluarga gadis (calon istri). Sistem perkawinan ini dapat dilaksanakan dengan dua cara yaitu:
  1. Cara Sebambangan, yaitu si gadis dilarikan oleh si bujang dari rumahnya dibawa ke rumah adat atau kerumah si bujang. Biasanya pertama kali si gadis ditempatkan di rumah adat atau Jukhangan baru dibawa pulang ke rumahnya oleh keluarga si bujang.
  2.  Cara Tekhang/ Sakicik Betik, cara ini dilakukan terang-terangan yaitu keluarga si bujang melamar langsung si gadis. Lamaran dialakukan setelah ada kecocokan hari, tannggal pernikahan, uang jujukh pengeni jama hulun tuha, benda balak (maskawin). Dalam sistem Tekhang ini uang Tengepik dan surat pemberitahuan tidak ada.

3.      Sistem perkawinan Cambokh Sumbay ini disebut juga perkawinan Semanda. Untuk perkawinan ini calon suami tidak mengeluarkan jujukh kepada calon istri, si bujang setelah akad nikah melepaskan tanggung jawab terhadap keluarganya, selanjutnya ia bertanggung jawab kepada kelurga istrinya.

d.      Sistem Kekerabatan dalam Adat Lampung Saibatin

Dalam Depdikbud Lampung (1986/ 1987: 29) Pola perilaku masyarakat Lampung Saibatin cenderung diikat oleh hubungan adat dan hubungan batin secara alamiah. Kecenderungannya mengarah ke masyarakat “Paguyuban” atau tipe “Gemeinschaft” yang telah dipengaruhi pula oleh tipe “Geselscaft” yakni masyarakat “Patembayan”. Pertemuan dua tipe ini akibat adanya asimilasi kebudayaan yang timbul dari perkawinan penduduk asli dengan pendatang. Apabila kegiatan yang bersifat kekeluargaan maka tipe paguyuban lebih menonjol, tetapi bila kegiatan bersifat sosial kemasyarakatan maka yang nampak adalah tipe patembayan. Hal ini dapat dipahami dimana pemikiran masyarakat sedang dalam proses transisi dari pola tradisional menuju pola modern.

Gambaran hubungan kekerabatan berdasarkan hubungan darah dan perkawinan serta kepunyimbangan mempunyai peranan yang sangat penting dalam hubungan kerjasama dalam penyelesaian suatu masalah atau pekerjaan yang berat, semua harus dilibatkan untuk kerjasama atau bergotong-royong sampai dengan asal nenek (lebu).

Menurut Depdikbud Lampung (1986/ 1987: 30 kekerabatan yang berdasarkan hubungan kelurga patrilineal (bapak) merupakan pokok utama dalam menangani suatu pekerjaan berat yang diatur dalam adat dimana rasa ini terpanggil dari dasar hubungan darah, sedangkan hubungan kekerabatan yang berdasarkan kepunyimbangan, didasari bahwa rumah keluarga hanya merupakan bilik (kamar) dari rumah besar (Lamban Balak, Gedung) dimana kepala adat tinggal. Dengan kata lain sebuah kelurga merupakan unit kecil dari suatu kesebatinan (Bandakh, pimpinan adat).

e.       Sebambangan, Nakat, Ditekep

Hilman Hadikusuma (1989: 151-153) mengemukakan bahwa, apabila bujang dan gadis berlarian untuk kawin, maka perbuatan mereka itu disebut “sebambangan”. Di lihat dari pihak gadis, gadis yang pergi bersuami atas kehendaknya sendiri disebut “nakat”. Apabila si gadis diambil pihak bujang dengan jalan paksa (ditarik dan sebagainya) bukan atas kehendaknya sendiri, maka perbuatan itu disebut “ditekep”. Perbuatan-perbuatan tersebut merupakan pelanggaran adat muda-mudi, tetapi kebanyakan dapat diselesaikan dengan damai oleh tua-tua adat kedua pihak.


Tata cara adat berlarian sampai penyelesainnya berlaku sebagai berikut di bawah ini:

a.       Tengepik
Tengepik artinya peninggalan, yaitu benda sebagai tanda kepergian gadis bersuami, berupa surat dan sejumlah uang yang ditinggalkan si gadis ketika ia berangkat meninggalkan rumahnya untuk menuju ke tempat bujang yang dicintainya. Uang tengepik bernilai 20 rial (Rp. 20.000,-- Rp. 200.000,-). Menurut adat gadis itu harus berangkat dari rumahnya sendiri, bukan dari ladang atau tepat lain.

Sesampainya si gadis di tempat si bujang, maka orang tua keluarga bujang harus segera melaporkan kepada punyimbangnya. Punyimbang segera mengadakan musyawarah menyanak untuk menunjuk utusan (pembarep) yang akan menyampaikan kesalahan kepada pihak gadis, yang disebut “ngattak pengundur senjata”.

b.      Pengundur Senjata
Pengundur senjata atau tali pengendur atau juga disebut ngattak salah, adalah tindakan yang dilakukan pihak kerabat bujang yang melarikan gadis dengan mengirim utusan yang membawa keris adat dan menyampaikannya kepada kepala adat pihak gadis. Ngattak (mengantar) pengundur senjata ini harus dilakukan di dalam waktu 1 x 24 jam di dalam kota atau 3 x 24 jam di luar kota setelah gadis berada di tangan kerabat bujang.

Pengundur senjata ini harus diterima kepala adat gadis dan segera pula ia memberitahukan keluarga gadis dan menyanak wari lainnya, serta menyatakan bahwa anak gadis mereka sudah berada di tangan kepala adat pihak bujang. Biasanya setelah pengundur senjata disampaikan, pihak bujang segera mengirimkan bahan makanan kepada pihak gadis. Bahan makanan itu berupa rempah-rempah sayuran dan ikan untuk makanan sehari-hari.

c.       Cakak Ngumung, Anjau Mengiyan, Sujud
Apabila telah didapat berita bahwa pihak gadis bersedia menerima pihak bujang, maka pihak bujang mengirim utusan tua-tua adatnya untuk cakak ngumung (naik bicara), guna menyatakan permintaan maaf dan memohon penyelesaian agar sebambangan itu dapat diselesaikan dengan baik ke arah perkawinan.

Jika tiada aral melintang, maka dari pertemuan yang telah diadakan kedua belah pihak, maka dilakukan “anjau mengiyan” (kunjungan menantu pria), dimana calon mempelai pria diantar oleh beberapa anggota keluarganya untuk memperkenalkan diri kepada keluarga orang tua gadis. Begitu pula dapat dilanjutkan dengan acara “sujud” (nyungkemi), dimana mengiyan tadi diantar ole kerabatnya untuk diperkenalkan dan bersujud pada semua tua-tua adat pihak gadis dalam suatu acara tertentu di tempat gadis.

d.      Pegadu Rasan, Cuwak Mengan
Setelah acara anjau mengiyan, sujud dilakukan pihak bujang maka sampailah pada acara pegadu rasan, yaitu mengakhiri pekerjaan, maksudnya melaksanakan akad nikah dengan acara nyuwak mengan (mengundang makan), dimana pada suatu hari yang telah ditentukan dilaksanakan akad nikah kedua mmpelai dan pihak pria mengundang semua kerabat pihak wanita untuk makan bersama dan para undangan sebagai tanda bahwa acara perkawinan itu berlangsunng dengan baik, rukun dan damai. Sebagaimana biasanya pihak wanita menyampaikan pesan (barang bawaan) mempelai wanita, yang nilainya seimbang atau lebih dari nilai-nilai biaya adat dan biasa lainnya yang telah disampaikan pihak pria.


Dalam penyelesain adat perkawinan sebagai akibat terjadinya sebambangan itu dipihak pria berlaku acara-acara seperti tindih sila, posok, pemberan gelar dan sebagainya. Begitu juga pemberian gelar dari pihak wanita ketika berlaku acara sujud. Namun ada kemungkinan dikarenakan permintaan pihak mempelai wanita maka acaranya menjadi besar, dimana mempelai wanita “diulikan” (digadiskan kembali), artinya diambil kembali oleh orang tuanya untuk melaksanakan acara bumbang aji atau ibal sebu.

Post a Comment for "Kelompok Masyarakat Adat Lampung Saibatin "