Unsur-unsur Kebudayaan
Keseluruhan
dari tindakan manusia yang berpola itu berkisar sekitar pranata-pranata
tertentu yang amat banyak jumlahnya; dengan demikian sebenarnya suatu
masyarakat yang luas selalu dapat kita perinci ke dalam pranata-pranata yang
khusus. Sejajar dengan itu suatu kebudayaan yang luas itu selalu dapat pula
kita perinci ke dalam unsur-unsurnya yang khusus.
Para
sarjana antropologi yang biasa menanggapi suatu kebudayaan (misalnya kebudayaan
minangkabau, Bali, atau Jepang) sebagai suatu keseluruhan yang terintergrasi,
pada waktu analisa membagi keseluruhan itu ke dalam unsur-unsur besar yang
disebut “unsur-unsur kebudayaan universal” atau
cultural universals. Istilah universal itu menunjukkan bahwa unsur-unsur
tadi bersifat universal, jadi unsur-unsur tadi ada dan bisa didapatkan di dalam
semua kebudayaan dari semua bangsa di manapun di dunia. Mengenai apa yang
disebut cultural universals itu, ada
beberapa pandangan yang berbeda di antara para sarjana antropologi. Berbagai
pandangan yang berbeda itu serta alasan perbedaannya diuraikan oleh C.
Kluckhohn dalam sebuah karangan berjudul Universal
Categories of Cultures (1953). Dengan mengambil sari dari berbagai kerangka
tentang unsur-unsur kebudayaan universal yang disusun oleh beberapa sarjana
antropologi itu, maka saya berpendapat bahwa ada tujuh unsur kebudayaan yang
dapat ditemukan pada semua bangsa di dunia. Ketujuh unsur yang dapat kita sebut sebagai isi pokok
dari tiap kebudayaan di dunia itu adalah :
- Bahasa
- Sistem
Pengetahuan
- Organisasi
Sosial
- Sistem
Peralatan hidup dan teknologi
- Sistem
mata pencaharian hidup
- Sistem
religi
- Kesenian
Fokus
Kebudayaan.
Banyak kebudayaan mempunyai suatu unsur kebudayaan
atau beberapa pranata tertentu yang merupakan suatu unsur pusat dalam
kebudayaan, sehingga digemari oleh sebagian besar dari warga masyarakat, dan
dengan demikian mendominasi banyak aktivitas atau pranata lain dalam kehidupan
masyarakat. Contoh dari unsur-unsur kebudayaan yang dominan seperti itu adalah
misalnya kesenian dalam masyarakat orang Bali, gerakan kebatinan dan mistik
dalam kebudayaan golongan pegawai negeri, atau priyayi di Jawa Tengah, peperangan antara federasi-federasi
kelompok-kelompok kekerabatan dalam masyarakat suku bangsa Dani di Lembah Besar
Baliem di Pegunungan Jayawijaya di Irian Jaya, atau kula dalam masyarakat penduduk Trobriand.
Etos
kebudayaan.
Suatu kebudayaan sering memancarkan keluar suatu watak khas tertentu yang
tampak dari luar artinya yang kelihatan orang asing. Watak khas itu, yang dalam
ilmu antropologi disebut ethos,
sering tampak pada gaya tingkah laku warga masyarakatnya, kegemaran-kegemaran
mereka, dan berbagai benda budaya hasil karya mereka. Berdasarkan konsep itu,
maka seorang Batak misalnya, yang mengamati kebudayaan Jawa, sebagai orang
asing yang tidak mengenal kebudayaan jawa dari dalam, dapat mengatakan bahwa
watak khas kebudayaan jawa memancarkan keselarasan, kesuraman, ketenangan
berlebih-lebihan, sehingga sering menjadi kelamban-an; kegemaran akan tingkah
laku yang mendetail ke dalam, atau njelimet,
dan kegemaran akan karya dan gagasan-gagasan yang berbelit-belit. Kemudian
gambaran orang batak mengenai watak kebudayaan jawa tadi biasanya akan
diilustrasikan dengan bahasa jawa yang terpecah ke dalam tingkat-tingkat bahasa
yang sangat rumit dan mendetail, dengan sopan santun dan gaya tingkah laku yang
menganggap pantang berbicara dan tertawa keras-keras, gerak-gerik yang ribut
dan agresif, tetapi menilai tinggi tingkah laku yang tenang tak-tergoyahkan,
dengan kegemaran orang Jawa akan warna-warna yang gelap dan tua, akan seni
suara gamelan yang tidak keras, akan benda-benda kesenian dan kerajinan dengan
hiasan-hiasan yang sangat mendetail dengan bentuk-bentuk berliku-liku yang
makin kedalam menjadi kecil, dan sebagainya.
Pikiran
Kolektif. Sudah sejak akhir abad ke-19 ada
seorang ahli sosiologi dan antropologi Perancis, bernama E.Durkheim, yang
mengembangkan konsep representations
collectives atau pikiran-pikiran kolektif dalam sebuah karangan berjudul : Representations individuelles et
Representations Collectives. (1898)
Cara
Durkheim menguraikan konsep itu pada dasarnya tidak berbeda dengan cara ilmu
psikologi menguraikan konsep berpikir. Ia juga beranggapan bahwa
aktivitas-aktivitas dan proses-proses rohaniah seperti : penangkapan
pengalaman, rasa, sensasi, kemauan, keinginan, dan lain-lain itu, terjadi dalam
organisme fisik dari manusia dan khususnya berpangkal di otak sistem syarafnya.
Akal manusia mempunyai kemampuan untuk menghubungkan proses-proses sekunder,
menjadi bayangan-bayangan dan jumlah dari semua bayangan mengenai suatu hal
yang khas, menjadi gagasan. Suatu gagasan serupa itu oleh Durkheim disebut representation, dan oleh karena gagasan
berada dalam alam pikiran seorang individu, maka disebutnya representation individuelle.
Gagasan-gagasan
seperti itu bisa juga dimiliki oleh lebih dari suatu individu, malahan kemudian
oleh sebagian besar dari warga suatu masyarakat. Dalam hal itu kita sering
bicara tentang “gagasan umum” atau “gagasan masyarakat”, sedangkan Durkheim
bicara tentang “gagasan kolektif” atau representation
collective. Kecuali itu Durkheim berpendapat bahwa suatu gagasan yang sudah
dimiliki oleh sebagian besar warga masyarakat bukan lagi berupa satu gagasan
tunggal mengenai suatu7 hal yang khas, melainkan biasanya sudah berkaitan
dengan gagasan lain yang sejenis menjadi suatu kompleks gagasan-gagasan,
sehingga ia selalu mempergunakan istilah representations
cpllectives dalam bentuk jamak. Untuk membedakan antara adanya satu gagasan
tunggal dengan adanya satu kompleks dari berbagai gagasan yang dimiliki oleh
sebagian besar dari warga masyarakat, agar jelas sebaiknya kita pakai istilah
khusus untuk menerjemahkan isitlah durkheim yang bentuk jamak, yaitu isitlah
“pikiran kolektif”, sebab isitilah “pikiran” memang lebih luas sifatnya dari
istilah ‘gagasan”.
Post a Comment for " Unsur-unsur Kebudayaan"